05 Januari 2010

» Home » Suara Merdeka » Segi Cergas Buku Gurita Cikeas

Segi Cergas Buku Gurita Cikeas

TAK dapat dimungkiri, Membongkar Gurita Cikeas: di Balik Skandal Bank Century menjadi buku yang cukup menyita perhatian publik di Tanah Air pada hari-hari menjelang tutup tahun 2009. Perhatian itu paling kurang dapat dicandra melalui headline yang tertulis di berbilang media.

George Junus Aditjondro, penulisnya pun kerap didaulat sebagai penampil di berbagai stasiun televisi. Kehebohan tidak saja muncul dari masyarakat umum, tapi terlebih pada orang-orang yang disebut George sangat berperan, kalau tidak mau disebut kunci, dalam oligarki kekuasaan Cikeas.


Tulisan ini tidak hendak memperpanjang dalih benar tidaknya sangkaan George, alih-alih mempersoalkan metodologi yang digunakan tapi lebih kepada melihat buku itu sebagai produk (budaya) semata. Yaitu melihat buku dalam perspektif kepentingan kuasa modal (penerbit).

Perspektif kepentingan tersebut dapat dikuak melalui jawaban atas satu pertanyaan mendasar berikut ini: Bagaimana proses sebuah buku diproduksi atau diterbitkan? Pada mula buku diproduksi, ia sangat bersifat personal. Baik pada saat menuliskan dan menyusunnya menjadi sebuah buku, maupun teknis penggandaannya.

Contoh paling klasik dari buku sebagai produk personal ini adalah seperti yang ditunjukkan saat zaman keemasan Islam di Cordova, Spanyol. Saat itu, ketika seseorang ingin menerbitkan buku, maka ia harus mengerjakannya secara manual. Mulai dari menulis, menyusun, hingga mengemasnya (menjilid dan menyampuli). Penggandaan terhadap buku tersebut tidak dengan dicetak tapi difotokopi manual alias ditulis tangan. Maka, pada zaman itu, jasa fotokopi manual banyak bermunculan.

Ditemukannya teknologi cetak generasi pertama menggeser buku tidak lagi semata-mata produk personal tapi telah berubah menjadi produk komunal. Proses kreatif penulisannya tetap bersifat personal, hanya saja proses pengemasan, penggandaan, dan distribusinya sudah melibatkan bantuan pihak lain. Sudah dipasarkan secara umum, tapi diproduksi dalam jumlah terbatas, dan untuk kalangan terbatas/tertentu (komunitas).

Fase ketiga, buku sebagai produk industrial. Kelahiran satu judul kini tidak lagi terpusat pada satu orang (penulis), tapi melibatkan banyak orang. Mulai dari penyunting, pemeriksa aksara, penata letak, ilustrator, proof reader (pembaca konsep-Red), hingga perancang sampul.

Setelah buku selesai dicetak, pekerjaan belum selesai. Buku tersebut masih harus dipasarkan. Di sini penerbit membutuhkan kehadiran pemasar: sales, distributor, dan agen. Nah, karena begitu mengularnya orang yang terlibat dalam siklus penerbitan satu judul buku hingga buku tersebut berada dalam genggaman pembaca/pembeli, kini menerbitkan buku (yang laku dan bermutu) bukan sesuatu yang mudah. Waktu yang dibutuhkan untuk menggarap satu judul buku pun, menjadi lebih lama.

Sudah begitu, sebelum memutuskan suatu naskah layak cetak atau tidak, penerbit akan memastikan terlebih (melalui survei/riset pasar) tingkat keterjualan suatu tema buku. Bahkan berdasarkan keterangan yang saya terima, ini terjadi di salah satu penerbit besar di Jawa Tengah, untuk menggolkan satu judul buku saja, menyangkut layak cetak/terbitnya, tiap naskah harus disertai dengan analisisnya ekonominya (laba-rugi). Sudah begitu, andaikata berdasarkan analisis ekonomi itu menguntungkan, tidak serta merta naskah tersebut segera dicetak tapi harus antre. Berapa lama? Tidak tentu, bisa tiga bulan, enam bulan, bahkan setahun. Semua itu tergantung jadwal, tingkat kepadatan, dan prioritas naskah.
Waktu Pendek Sekarang kembali ke Gurita Cikeas. Di dalam buku tersebut George masih mengintroduksi pidato Presiden SBY pada Oktober 2009. Artinya pada hari-hari di bulan itu George masih menulis. Nah, hebatnya buku itu sudah diluncurkan pekan terakhir Desember 2009. Taruhlan Goerge telah menyelesaikan naskahnya pada akhir Oktober, praktis penerbit hanya membutuhkan waktu kurang dari dua bulan.

Waktu yang pendek tersebut digunakan untuk menyunting, memeriksa huruf, merevisi (pada beberapa kasus, setelah digarap editor, naskah dikembalikan lagi ke penulis guna dikembangkan dan dipertajam), menata letak isi, melengkapi teks dengan gambar, meng-sett hingga menjadi naskah siap cetak, membaca halaman proof, mencetak, mem-finishing, dan mendistribusikan ke penyalur dan agen. 

Pertanyaan besarnya, apa mungkin dalam waktu dua bulan bisa menyelesaikan beragam pekerjaan teknis yang dari sisi waktu, sangat sulit diretas itu?
Tentu saja, jawabannya mungkin. Namun, kalau pertanyaan tersebut diteruskan: bagaimana kualitas buku yang diterbitkan dengan jadwal yang super superketat seperti itu? Maka jawabannya akan menjadi lain karena berdasarkan pengalaman yang sudah-sudah, ketergesa-gesaan linear membuahkan hasil yang kurang optimal-untuk tidak mengatakan buruk. Baik secara teknis (context) maupun substantif (content).  Pada titik itu, mestinya kita bisa mafhum, mengapa buku tersebut memanen kritik, terutama yang menyoal akurasi dan bobot kognisi akademik. Ya, karena memang dari sono-nya sudah ”bermasalah”.  

Pendeknya waktu yang dihabiskan untuk menelurkan buku tersebut juga memunculkan satu kemungkinan lagi, George menulis hanya dalam satu tarikan napas. Artinya, setelah naskah dinyatakan selesai, langsung diserahkan ke penerbit. Kemungkinan lain editor penerbit hanya berperan memeriksa huruf, tidak ”mempertimbangkan kembali” isi, untuk kemudian langsung masuk tahap persiapan pracetak.  Jika penyunting telah mempertimbangkan isi dan beragam aspek editing lainnya, maka buku itu justru menunjukkan standar kerja editorial yang rendah. 

Bisa saja, ketergesa-gesaan mengejar momen itu (kasus Century yang kian memanas) dapat dipandang sebagai bentuk kecergasan atau ketangkasan, kegesitan penerbit dan penulisnya memanfaatkan peluang pasar. Hal itu sah-sah saja. Tapi setelah mendaras (membaca-Red) hasilnya kita harus buru-buru membubuhkan tanda petik pada lema cergas itu. (10)  

— Agus M Irkham, alumnus FE Undip, Eksponen Komunitas Pasarbuku
Wacana Suara Merdeka 6 Januari 2010