05 Januari 2010

» Home » Suara Merdeka » Revitalisasi Kerajinan Kulit Ular

Revitalisasi Kerajinan Kulit Ular

TAHUN 1990-an sepanjang jalan pantura di Comal Kabupaten Pemalang berjajar kedai-kedai penjual barang yang terbuat dari kulit ular.

Produk itu berupa sabuk, dompet, tempat kacamata, dan tas dengan beragam motif. Produk ini berasal dari Desa Sarwodadi Kecamatan Comal.


Tak aneh Sarwodadi Comal dikenal luas sebagai sentra kerajinan kulit ular. Puluhan perajin menggeluti usaha ini. Masing-masing perajin mempekerjakan 10 sampai 20 karyawan.

Produk kerajinan ini sempat mendongkrak popularitas Kabupaten Pemalang di tingkat nasional. Bahkan, kerajinan kulit ular menjadi ikon produk khas.

Sebab pada masa itu pemasaran produk kulit ular menjangkau sejumlah daerah di Indonesia, seperti Pekalongan, Solo, Yogya, Banjarnegara, Bandung, Bali, dan daerah lainnya.

Di tingkat global, kerajinan kulit ular dari Pemalang juga mampu menembus pasar ekspor. Sejumlah negara di Eropa, Timur Tengah, Korea Selatan, dan Singapura merupakan konsumen yang menyukai produk berbahan kulit hewan melata itu. Sayangnya ekspor dilakukan  melalui pihak ketiga.

Menurut Suwarno, salah seorang pelopor kerajinan kulit ular, kebanyakan pihak ketiga, adalah saudagar dari Bali. Merekalah  yang menampung barang jadi dari perajin.

Lalu dikemas dan dilabeli dengan merek usaha mereka kemudian diekspor. Perilaku itu jelas merugikan Pemalang sebagai daerah asal produk. Meski sebagai produsen, Pemalang menjadi kurang dikenal oleh konsumen mancanegara.

Hal itu juga menjadi ironi lain. Ekspor tidak meningkatkan penghasilan yang berarti bagi perajin. Akibatnya perkembangan usaha perajin stagnan.

Di sisi lain, solidaritas antarperajin sendiri tidak terbentuk. Malah, dalam pasar lokal, persaingan mereka tak sehat. Saling serobot konsumen dan obral harga sering terjadi.

Dampaknya mereka lambat laun kurang memperhatikan kualitas barang. Dari sinilah kerajinan kulit ular mengalami kemunduran.

Pembinaan yang dilakukan pemerintah kabupaten saat itu tak banyak menolong.

Perkembangan selanjutnya, satu per satu usaha kerajinan kulit ular berguguran lalu bangkrut. Sekarang perajin yang tersisa ”hanya” tiga orang. Kondisinyapun tidak seeksis dulu. 

Kapasitas produksinya tidak sebanyak waktu lampau karena modalnya terbatas. Modal mereka telah menipis akibat saling menjatuhkan harga.

Kondisi itu tentu sungguh memilukan. Kejayaan kulit ular yang sempat menjadi ikon Pemalang sirna di era sekarang. Menyikapi kondisi ini, maka revitalisasi menjadi sebuah keniscayaan.

Sebagai ujung tombak, perajin haruslah menyadari kekeliruan masa lalu. Mereka harus punya kesamaan persepsi bahwa selain bernilai ekonomi, kerajinan kulit ular telah menjadi produk khas daerah.

Untuk itu hendaknya kini para perajin bergotong royong mengibarkan kembali panji kejayaannya. Harapan ini tentunya akan terwujud jika ada inisiator.

Pemkab Pemalang beserta stakeholder merupakan inisiator yang dirasa efektif. Sebab pemda memiliki prasarana yang mapan.

Ada beberapa hal penting yang mesti diperhatikan agar revitalisasi membuahkah hasil. Antara lain pertama, pemerintah membuat regulasi usaha kerajinan kulit ular.

Tugas utamanya, menciptakan mekanisme pasar yang saling menguntungkan antarperajin. Selain itu pemkab wajib mengawasi secara ketat jalannya usaha. Pengawasan ini dilakukan untuk menghindari terjadinya kecurangan, terutama dalam hal pemasaran. 

Kedua, pemkab berperan sebagai mediator yang menjembatani pembeli luar negeri dengan perajin. Dengan begitu pembeli luar negeri dapat bertransaksi langsung dengan perajin.

Terpangkasnya alur distribusi ini (tanpa pihak ketiga-Red) otomatis laba yang diperoleh perajin akan lebih maksimal.
Ketiga, pemkab mengusahakan penambahan modal bagi perajin sekaligus memberikan pendampingan manajemen. Selain ketiga langkah tadi yang tak kalah penting adalah promosi.

Untuk kepentingan ini,  promosi digelar dengan berbagai cara, salah satunya melalui berbagai event wilayah, nasional hingga internasional. Promosi juga bisa melalui media internet sebab media itu daya jangkaunya luas dan relatif murah. (10)

— Haryoto Bramantyo, warga Pemalang, eksekutif marketing, sering kanvas di Comal-Pemalang
Opini Suara Merdeka 6 Januari 2010