05 Desember 2009

» Home » Republika » Muhammadiyah Mencari Pemimpin

Muhammadiyah Mencari Pemimpin

Oleh: Imam Addaruqutni
(Mantan Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah)

Muktamar ke-46 Muhammadiyah yang sekaligus perhelatan (haflah ) peringatan seratus tahun berkhidmat pada bangsa ini akan dilangsungkan di Yogyakarta pada Juli 2010. Karena itu, muktamar mendatang ini dianggap sebagai momentum penting untuk dua hal: internal dan eksternal.

Secara internal, hal tersebut merupakan momentum di mana Muhammadiyah harus mampu melahirkan kembali sosok kepemimpinan yang paripurna dan sekaligus berperan sebagai  inspirer dan administrator dalam rangka konsolidasi Muhammadiyah sebagai gerakan ( harakah ).

Secara eksternal, itu merupakan momentum di mana Muhammadiyah harus tampil sebagai katalisator dan dinamisator bagi kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia yang secara agregat lebih maslahat dalam rangka mewujudkan cita-cita nasional sebagai bangsa merdeka, sebagaimana tersebut dalam Undang-Undang Dasar 1945.

Meskipun demikian, apresiasi atas dua persoalan tersebut memang menunjukkan bahwa yang pertama mengait yang kedua semenjak awalnya. Artinya, secara historis dan eksistensial, Muhammadiyah memang lahir dan berkhidmat untuk umat dan bangsa ini.

Kondisi internal<B>
Jati diri Muhammadiyah sebagai gerakan ( harakah ) dakwah  amar ma'ruf nahi munkar mengait dua esensi gerakan. Pertama, gerakan reformasi ( tajdid ) Islam dan pemekaran pemikiran Islam salafi. Kedua, gerakan amal usaha dalam rangka transformasi dan fasilitasi atas yang pertama sekaligus katalisasi dan dinamisasi kehidupan masyarakat dan bangsa seperti yang disebut di atas.

Sebagai gerakan reformasi dan pemekaran pemikiran Islam, Muhammadiyah sebagaimana digagas oleh pendirinya (KH Ahmad Dahlan) pada awalnya merupakan keprihatinan mendalam atas kondisi umum umat, di mana religiositas Islam telah terkontaminasi oleh praktik TBC (takhayul, bid'ah, dan  churrafat ).

TBC demikian merasuk dalam keberislaman umat sehingga Islam yang semula sebagai agama kemajuan, kritis, dan korektif, justru seolah-olah antiberadaban, antibudaya, dan bahkan kehilangan daya intelektualisme yang semestinya menjadi inti gerakan (Sir Muhammad Iqbal,  The Reconstruction of Islamic Thought ).

Umat Islam di mana-mana lebih terbelakang dibandingkan komunitas luaran. Umat Islam malah berada dalam kemiskinan, tingkat kesehatan yang rendah, pendidikan yang tertinggal, dan lain sebagainya. Karena itu, proyek sosial religius yang terus-menerus dikerjakan oleh Muhammadiyah sedari awal adalah memperbarui ( tajdid ) lagi ajaran Islam (konsep dan praktik) dalam arti mengembalikan ortodiksi (Alquran dan sunah) sebagai sumber ajaran dan kemudian menata kembali ( restoration ) seluruh lingkup konseptual dan praktikal Islam tersebut sehingga Islam hadir sebagai penyebar kasih sayang ( rahmatan lil 'alamin ).

Kini, setelah rentang waktu seratus tahun, telah banyak yang dicapai dan diwujudkan oleh Muhammadiyah, seperti ribuan fasilitas umum, berupa sekolah dan universitas, rumah sakit, panti asuhan, rumah singgah, tempat peribadatan, dan sebagainya. Di belakang semua ini, terdapat sumber daya yang cukup besar untuk tidak mengatakan sangat besar, berupa kekuatan infrastruktur organisasi: sistem manajemen, administrasi, dana, dan SDM, termasuk para anggota sebagai pemangku kepentingan ( stakeholders ) yang sekaligus sebagai elemen dan pelaku utama  civil society ini.

Namun, di samping capaian-capaian memorabilia tersebut, aspek yang sejak semula justru merupakan obsesi Muhammadiyah sebagai pembawa panji ( standard bearer ) pembaruan Islam adalah yang paling terabaikan. Sampai saat ini, daya dobrak pembaruan Islam di kalangan Muhammadiyah mengalami kelambatan dibandingkan tuntutan perkembangan zaman.

Kondisi eksternal
Kondisi eksternal yang berlangsung adalah interaksi sosial dalam lingkup kehidupan nasional dan global yang sangat dinamis, praktis, pragmatis, materialistis, dan pluralis. Setelah merdeka lebih dari enam puluh tahun, bangsa kita telah mengalami berbagai transformasi sosial budaya (termasuk agama).

Sementara itu, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya teknologi informasi yang revolusioner, telah memengaruhi secara mendalam pola kehidupan bangsa ini dalam berbagai lapisan, baik tua maupun muda, tanpa dibatasi oleh sekat ras, suku, ataupun agama.

Karena itu, diskursus keagamaan, termasuk Islam, secara tak terhindarkan dihadapkan dengan semua realitas sosial ini. Dengan demikian, (khususnya) Islam dituntut untuk membuka tataran pemekaran pemikiran yang bersifat lebih progresif dan responsif. Progresif dalam pengertian mampu menjadi pendorong menuju kemajuan substansial, bukan kemajuan semu dan parsial.

Responsif dalam pengertian bahwa Islam mampu menjawab tantangan zaman, baik tataran solusi maupun alternasi terhadap kecenderungan destruktif dan deviatif, serta mampu memandu perkembangan zaman menurut citra kemanusiaan berketuhanan (religius), adil, dan beradab. Karena itu, corak pemahaman Islam yang sangat bercorak hierarkis dan klerikal sebagaimana yang selama ini berlangsung secara hegemonis mesti ditinggalkan dan diganti dengan pemahaman Islam bercorak emansipatoris dan partisipatoris.

Tanpa usaha-usaha yang konstan dan gigih menuju konsep Islam emansipatoris dan partisipatoris ini, bisa dipastikan bahwa problema klasik serta kondisi stagnan umat akan tetap terpola dalam segmentasi sosial yang rentan dengan kompartementalisasi dan segregasi umat, seperti tradisional, modernis, konservatif, progresif, reaksioner, dan  intolerance . Inilah realitas kita selama ini dan ini pulalah yang mengungkung konseptualisasi dan artikulasi keislaman kita selama ini.

Dengan menimbang gejala umum kondisi eksternal tersebut, Islam dan tren sosial budaya dalam masyarakat kita ternyata kurang senyawa. Islam berdiri di suatu tempat, sedangkan alam pemikiran serta pola sosial budaya kita berada di tempat lain yang satu dengan lainnya kontraproduktif. Islam tampaknya tampil atau ditampilkan dalam bentuk problem, dilema, dan enigma dibandingkan sebagai pemandu dan dinamisator bagi kehidupan sosial budaya itu sendiri.

Tipologi umum pemimpin<B>
Bakal pemimpin Muhammadiyah mendatang secara umum adalah yang sanggup menempuh rintisan rekonseptualisasi Islam yang selama ini bersifat anakronistik. Artinya, universalitas Islam harus mampu diterjemahkan dalam singularitas dan tipikalitas Islam nusantara. Karena, historisitas konstruk (pemahaman) Islam semenjak dari awal memang mengait realitas umum dan khusus ini ( am dan khash ).

Al-Imam al-Syafi'iy secara demonstratif telah mengonstruksi hukum Islam (fikih) melalui  qaul qadim dan  qaul jaid , di mana kasus yang sama diformulasi secara berbeda dengan mengadaptasi faktor lokalitas. Begitu pula nuansa metodologis al-Syafi'iy, Hanifiy, Maliki, dan Ahmad bin Hanbal, semuanya menunjukkan bahwa konstruksi pemahaman Islam secara umum memang mengait realitas lokal yang ditransendensikan menjadi konstruksi konseptualisme Islam.

Karena itu, secara kualitatif, Muhammadiyah membutuhkan pemimpin yang tidak konvensional, bukan sekadar bergelar doktor atau profesor, melainkan keulamaan yang paripurna. Ulama yang mampu mengikuti perkembangan sosial budaya dengan bacaan substansi Islam menjamin kohabitasi kehidupan masyarakat dan bangsa dalam bingkai multikultaralisme, pluralitas, dan heteroginitas yang harmonis.

Pemimpin Muhammadiyah mendatang adalah yang mampu melakukan pengarusan ( mainstreaming ) konseptualisasi Islam moderat ( umatan wasathan ), toleran, dan bukan ekstremis ( mutatharrif ) yang sejalan dengan nalar  aqidah wasathiyah Ibn Taymiyah yang lebih diminati Muhammadiyah.

Kiranya, inilah transformasi Islam  rahmatan lil alamin yang semenjak awal menjadi obsesi  the founding father Muhammadiyah itu. Jika Muhammadiyah mampu melepaskan diri dari hegemoni konvensionalisme dan artifisialisme yang hanya mengandalkan sosok individual dan gelar, idealitas kepemimpinan ini dapat diwujudkan.  Wa'llah al-Musta'an .


Opini Republika 5 Desember 2009