30 September 2009

» Home » Media Indonesia » Transformasi Elite DPD yang Ideal

Transformasi Elite DPD yang Ideal

Akhir 2009 menjadi starting point roda ketatanegaraan, pascaperhelatan dua pesta demokrasi bangsa ini. Baik eksekutif maupun legislatif akan mempunyai wajah baru. Di domain legislatif, tak sedikit politikus di daerah yang baru pertama kali menjadi anggota dewan (DPR-DPD) meski banyak pula para politikus senior yang terpilih kembali. Di domain eksekutif, pascaterpilihnya SBY-Boediono, akan terjadi formulasi baru susunan kabinet. Dalam satu dasawarsa pascareformasi ini, tak dimungkiri rakyat membutuhkan perbaikan kesejahteraan yang kini masih sumir. Pintu utama lahirnya kesejahteraan dalam konteks makro mutlak lahir dari beragam produk kebijakan yang mampu merepresentasi kepentingan rakyat. Lebih jauh, kebijakan itu bergantung pada proses panjang persinggungan antara aktor politikus di eksekutif dan legislatif dengan serangkaian pembenahan sistemik. Faktor elite menjadi determinan sebagai elite bread lingkaran dalam kekuasaan yang menentukan warna kebijakan ke depan. Untuk itu hemat penulis, laku roda ketatanegaraan kita membutuhkan semangat baru (new spirit) dan peremajaan aktor. Meski tidak semua, sebab mayoritas politikus senior kian diragukan progress report-nya.

Stagnasi elite
Salah satu faktor penghambat proses kepemimpinan bangsa ini adalah tersumbatnya kran regenerasi elite, dengan para politikus senior hingga kini masih mendominasi roda kepemimpinan nasional. Memang agak susah membayangkan proses regenerasi dan memunculkan pemimpin muda visioner jika nalar yang membasisi pembenahan sistem bangsa ini adalah 'nalar kepatuhan'. Dengan nalar kepatuhan itu, nyata bahwa partai politik sebagai instrumen lembaga politik negara masih didominasi oleh politisi senior yang belum mau melepaskan otoritas mereka. Lantas terjadi antrean panjang penumpukan para kader muda kurang terawat. Fakta itu memang absah jika ditilik dari dalil klasik Lord Acton bahwa power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely yang menyuguhkan drama realis betapa kekuasaan berkecenderungan ke arah status quo. Tersumbatnya kran regenerasi itu layak dijadikan bahan apresiasi jelang kepemimpinan baru awal Oktober ini. Mesti disuarakan bahwa sekarang saatnya kita membutuhkan figur pemimpin muda. Pemimpin yang tidak hanya berusia muda, tetapi juga berjiwa muda, berdarah muda, dan mempunyai inovasi dan gagasan baru. Jangan sampai stagnasi kepemimpinan elite berimbas pada hasil-hasil kebijakan yang justru menegasi inovasi dan alternatif solusi bagi problem kebangsaan yang kian akut.

Transformasi kepemimpinan
Rakyat kita saat ini sudah cukup cerdas saat memilih wakilnya di Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Dari dominasi politisi kawakan yang ikut kembali bertarung, yang terjadi justru rakyat memilih tokoh muda. Itu terlihat dari anggota DPD yang terpilih 2009-2014 70% anggota baru dan didominasi politisi muda. Mereka rata-rata datang dari daerah dengan membawa beragam kegelisahan masyarakat di daerah. Darah segar politisi muda yang dipilih rakyat ini tentu saja telah menyiapkan beragam konsep inovatif bagi pembangunan dan kemajuan daerah. Namun, wajah-wajah baru yang akan menghiasi DPD dengan semangat idealismenya untuk memperjuangkan aspirasi daerah dikhawatirkan terbawa situasi lingkaran elite Senayan. Hal ini masih menyisakan keraguan. Artinya, masih tersedia dua kemungkinan yang saling bertentangan. Kemungkinan pertama, terjadi kegagapan politik menghadapi derasnya arus perpolitikan di tingkat pusat yang pada akhirnya akan menggelincirkan mereka kepada lubang hitam (the black hole) budaya politik korup. Kemungkinan kedua lebih optimistis, karena semangat baru dan konsep-konsep baru yang mereka bawa dari daerah akan mampu mewarnai dinamika politik Tanah Air ke arah lebih progresif. Namun, dengan syarat sang nakhodanya memiliki chemistry dengan semangat idealisme dan semangat muda mereka. Tentu semua elemen bangsa ini mengharapkan terjadinya kemungkinan terakhir ini. Namun, tidak mustahil jika kemungkinan pertama yang akan menjadi kenyataan. Untuk itu, diperlukan persiapan diri membentengi beragam 'godaan politik' Senayan yang kian merajalela.
Pertama dan utama adalah persiapan mental. Sisi mentalitas menjadi awal dari pelbagai petaka politik ketergiuran bujuk rayu dan infiltrasi kepentingan kotor (vested interest) pihak-pihak tertentu. Pertarungan antara sisi idealisme dan sisi pragmatisme yang terus-menerus menguji komitmen dan konsistensi para politikus muda dalam proses menjadi pemimpin bersih dan berintegritas.

Kedua, memperkaya diri dengan pengalaman dan sikap kepemimpinan transformasional. Para pengembang teori kepemimpinan mengidentifikasi pendekatan transformasional sebagai pendekatan kepemimpinan abad ke-21. Dalam konteks tersebut kepemimpinan tipe itu digambarkan sebagai pola yang mampu meningkatkan komitmen stafnya, mengomunikasikan suatu visi dan implementasinya, memberikan kepuasan dalam bekerja, dan mengembangkan fokus yang berorientasi pada rakyat. Dalam konteks ini, pengayaan nilai-nilai transformatif musti diejawantahkan dalam setiap laku politik mereka. Di antaranya transformasi spiritual, transformasi intelektual dan transformasi keberpihakan sosial. Spiritualitas adalah 'kekuatan dalam' (inner power) yang menggerakkan seorang pemimpin agar konsisten merambah jalan kebenaran yang berbanding lurus dengan kepentingan rakyat dan nilai kemanusiaan. Danah Zohar dalam Spiritual Quotient membeberkan bahwa kecerdasan spiritual (spiritual intelligence) akan berdampak pada kecerdasan pikir, ketenangan sikap dan pembentukan karakter seorang pemimpin. Peneliti lain, Daniel Golemann dalam Emotional Intelligence, menyebut kecerdasan emosi yang distimulasi kecerdasan spiritual akan mengarahkan seorang pemimpin kepada ketenangan mengambil keputusan, positive thinking, optimistis, visioner; sebaliknya tidak emosional dan reaksioner. Selanjutnya transformasi intelektual sejatinya adalah pengayaan diri (personal ability) yang mutlak dimiliki pemimpin berkemampuan multidisipliner dan berpengetahuan luas. Sebab strategi pengambilan kebijakan sangat ditentukan oleh sejauh mana kedalaman konseptual-teoritis-praktis yang berimbang tegak lurus dengan visi-misi dan kepentingan rakyat di masa mendatang agar terjadi transformasi keberpihakan sosial (social conciesness). Kecermatan dan kejelian membaca realitas sosial-kultural rakyat dengan seragkaian perbedaan background dibutuhkan untuk mengasah kepekaan krisis (sense of crisis) dan kearifan sosial (social wisdom). Ini akan membentuk karakter pemimpin yang benar-benar mempunyai kesadaran sosial (social consciousness) tinggi. Selanjutnya ia dituntut mampu mengadaptasi kepentingan rakyat ke dalam bentuk kebijakan publik.
Ketiga, menekankan aspek perubahan. Tekanan sosial, budaya, dan ekonomi mendorong pemimpin muda untuk menunjukkan prestasi dua kali lebih besar daripada para pendahulunya. Ia niscaya mempersembahkan solusi luar biasa berupa 'perubahan' signifikan bagi lingkungan mereka. Ia memotivasi para pendukung untuk senantiasa mencari alternatif dan ide-ide segar yang inovatif.
Keempat, berpegang pada prinsip. Kepemimpinan muda diharapkan mampu menunjukkan semangat yang tinggi dalam mempertahankan dan memperjuangkan prinsip yang dipegang. Hingga ia akan memiliki daya tahan lebih lama dan toleransi lebih tinggi atas krisis dan masalah dalam menjalankan tugas memimpin rakyatnya. Pada akhirnya, diawali dari para elite muda di DPD, pada masa-masa mendatang diharapkan muncul kepemimpinan muda berkualitas. Tak boleh dilupakan, bangsa ini pernah mempunyai stok pemimpin muda seperti Soekarno, Muhammad Natsir, dan para pemimpin masa itu yang telah berperan menjadi para founding fathers di usia yang cukup belia. Wallahualam.

Opini Media Indonesia 1 Oktober 2009
Oleh Sultan Bachtiar Najamuddin, Anggota DPD 2009-2014