30 September 2009

» Home » Jawa Pos » Defundamentalisme Agama

Defundamentalisme Agama

SATU demi satu teroris di Indonesia sudah terbunuh, mulai Azhari, Amrozi dkk sampai Noordin M. Top yang dianggap gembong dan top-nya teroris di Indonesia. Pertanyaannya adalah, apakah terorisme di Indonesia sudah tamat?

Gembong teroris di Indonesia memang sudah tertangkap, tetapi tidak dengan "terorisme". Ini berarti pengeboman atau teror di negeri kita ini belum selesai, malah mungkin terus berlangsung, seiring perkembangan pengikut kelompok atau jamaah "Islam" garis keras itu sendiri yang memiliki jaringan internasional.
Dengan kata lain, teroris di Indonesia sudah menjadi bahaya "laten" persis dengan trade mark bahaya laten untuk PKI zaman Orde Baru dulu. Karena itu, kita harus waspada dan mengantisipasi keberadaannya.

***

Bagi kelompok agama garis keras (fundamentalis), melakukan kekerasan dan bahkan pengeboman kepada orang lain dianggap sebagai perjuangan (jihad) yang sangat mulia kedudukannya di sisi Tuhan, bahkan tidak bisa ditawar-tawar untuk ditunda. Inilah doktrin yang mereka bangun dan kembangkan kepada para anggota. Risiko mati atau eksekusi mati bagi mereka bukan penghalang, namun justru ada harapan dan janji masuk surga.

Inilah kekuatan "jihad" mereka yang tidak pernah padam. Kekuatan doktrin inilah yang sebenarnya sulit distop dan ditaklukkan oleh siapa pun dan dengan perlawanan apa pun.

Fundamentalisme merupakan gejala keagamaan yang bisa muncul dari semua agama, di mana pun dan kapan saja. Dalam wacana agama, fundamentalisme adalah paham yang berjuang menegakkan kembali norma-norma dan keyakinan agama tradisional untuk menghadapi sekularisme. Dalam agama Kristen, fundamentalisme muncul karena ingin membendung bahaya modernisme yang dianggap telah mengotori kesucian agama dan ingin kembali kepada teks kitab suci (Bibel).

Sementara di Islam, fundamentalisme juga diartikan sebagai paham yang bermaksud mempertahankan ajaran dasar Islam, menjauhkan dari segala bentuk takhayul, bidah, dan khurafat seperti yang dilakukan Ahmad bin Hanbal dan Ibn Taimiyah. Tetapi, perkembangan lebih lanjut kelompok fundamentalisme di atas memiliki konotasi minor dan sangat pejoratif, bahkan dianggap sebagai kelompok garis keras yang sering bertindak irrasional dan selalu dikaitkan dengan gerakan-gerakan dan revolusi, seperti gerakan Wahabi di Saudi Arabia, Khumaini di Iran, Hasan al-Banna, Sayid Qutub di Mesir, dan seterusnya.

Fundamentalisme Islam populer di kalangan Barat setelah terjadi revolusi Iran pada 1979. Menurut E. Marty (1991). ada dua prinsip fundamentalisme. Pertama, memiliki prinsip perlawanan (opposition), yaitu perlawanan terhadap segala bentuk yang dianggap membahayakan eksistensi agama, baik dalam bentuk modernisme, sekularisme maupun westernisme. Kedua, penolakan terhadap heurmenetika.

Kelompok fundamentalis menolak sikap kritis terhadap teks dan interpretasinya. Menurut kelompok ini, teks harus dipahami sebagaimana adanya karena nalar dianggap tak mampu memberikan interpretasi yang tepat terhadap teks. Oleh sebab itu kelompok ini juga disebut tekstualis-skripturalis.

Senada dengan penjelasan di atas, Riaz Hassan (2006) dan Watt juga mengemukakan bahwa fundamentalisme Islam menganggap identitas mereka berada dalam bahaya dan terkikis oleh hibriditas budaya dan agama. Mereka mempertahankan penafsiran, doktrin, keyakinan, dan praktik masa lalu yang suci. Bagi mereka modernitas dan globalisasi yang menjadi ciri dunia merupakan ancaman serius bagi pandangan dunia tradisional.

Alasan utama munculnya fundamentalisme Islam adalah adanya perasaan kaum muslim, termasuk orang yang berpendidikan tinggi bahwa mereka berada dalam bahaya karena kehilangan identitas Islam mereka yang dikikis Barat.

Kelompok fundamentalis menegaskan, di sebuah negara muslim, kaum nonmuslim mesti diturunkan tingkatannya sehingga statusnya lebih rendah di hadapan kaum muslim. Lebih jauh, kaum nonmuslim tidak diperbolehkan mendirikan bangunan gereja atau sinagog yang lebih tinggi daripada masjid, dan mereka harus dinomorduakan dari orang muslim dalam semua kegiatan sosial sehari-hari. Termasuk, orang muslim dilarang mengawali salam damai kepada nonmuslim.

Bersandar beberapa karya ahli hukum klasik, kalangan fundamentalis getol memperjuangkan teologi yang dikenal dengan sebutan al-wala' wa al-bara' (doktrin loyalitas dan pemisahan). Doktrin ini menyatakan bahwa kaum muslim hanya wajib peduli, berinteraksi, dan berteman hanya dengan umat Islam.

Kaum muslim dibolehkan meminta bantuan nonmuslim hanya jika mereka lemah dan membutuhkan, tetapi selagi umat Islam mampu memperoleh kekuatannya, mereka harus merebut status superiornya. Umat Islam tidak boleh bersahabat dengan kaum nonmuslim atau membiarkan diri mereka peduli atau mencintai kaum nonmuslim.

***

Lantas, apa yang harus dilakukan untuk mengantisipasi dan membendung bahaya fundamentalisme dan terorisme di Indonesia ini? Paling tidak ada dua hal yang harus dilakukan. Pertama, menegakkan supremasi hukum secara serius. Kedua, mereorientasi pemahaman agama di lembaga pendidikan (sekolah maupun perguruan tinggi).

Secara simultan pemerintah bersama masyarakat hendaknya menegakkan hukum untuk membendung bahaya laten terorisme ini. Pemerintah tidak bisa lagi kecolongan oleh kelompok-kelompok asing yang bisa keluar masuk Indonesia seenaknya sendiri, sebagaimana yang terjadi selama ini, meski dengan negara tetangga sendiri sekalipun.

Di lembaga pendidikan, hendaknya ditanamkan pendidikan agama yang menanamkan doktrin agama moderat (alhanifiyyah al-samhah), agama damai (din rahmah) ,bukan agama kekerasan dan fundamentalis.

Opini Jawa Pos 1 Oktober 2009

*) Dr M. Zainuddin MA , dosen Pemikiran Islam pada PPs UIN Malik Ibrahim Malang.