30 September 2009

» Home » Okezone » Presiden Tidak Wajib ke Lubang Buaya

Presiden Tidak Wajib ke Lubang Buaya

Setelah era reformasi, timbul kerepotan tiap kali memperingati Hari Kesaktian Pancasila, 1 Oktober. Orang mempertanyakan apa hubungan tewasnya beberapa orang jenderal dengan kesaktian Pancasila?

Gerakan 30 September merupakan upaya perebutan kekuasaan, tidak ada kaitannya dengan kehebatan Pancasila. Aksi itu gagal karena kecerobohan pelakunya dalam merancang strategi militer dan menerapkannya di lapangan. Sementara itu, kalau ingin menekankan pentingnya Pancasila sebagai ideologi pemersatu bangsa, seyogianya hal itu diperingati pada 1 Juni. Peringatan Kesaktian Pancasila pasca-Soeharto dari tahun ke tahun kian kehilangan magnetnya dan semakin dilematis.
Di satu sisi terdapat keengganan sebagian masyarakat, termasuk pejabat, untuk melakukan upacara-terutama pada era Megawati Soekarnoputri. Ketika putri Proklamator ini menjadi Presiden, dia mengurangi bobot acara itu dengan mengurangi waktu kehadiran di Lubang Buaya, Jakarta Timur, serta menyerahkan posisi inspektur upacara kepada ketua MPR. Hal ini dapat dimaklumi karena malam tersebut merupakan awal kejatuhan Bung Karno dari kekuasaannya yang berlangsung secara liat dan menyayat perasaan. Di sini lain, peringatan ini menjadi kewajiban bagi militer.

Surat Keputusan Menteri/Panglima Angkatan Darat Jenderal Soeharto bertanggal 17 September 1966 (Kep 977/9/1966) menetapkan tanggal 1 Oktober sebagai Hari Kesaktian Pancasila yang harus diperingati Angkatan Darat. Pada 24 September 1966, Menteri/ Panglima Angkatan Kepolisian mengusulkan supaya hari itu diperingati seluruh jajaran Angkatan Bersenjata. Itu sebabnya keluar Keputusan Menteri Utama Bidang Pertahanan dan Keamanan yang juga dijabat Jenderal Soeharto (Kep/B/134/1966), bertanggal 29 September 1966, agar hari itu diperingati "seluruh slagorde Angkatan Bersenjata".

Menurut aturan tertulis, sesungguhnya tidak ada keharusan presiden, wakil presiden dan ketua lembaga tinggi negara lain serta para menteri menghadiri acara tersebut, walaupun pada masa pemerintahan Jenderal Soeharto ini seakan seremoni wajib. Pada era Orde Baru, bendera dinaikkan setengah tiang pada 30 September dan secara penuh esoknya. Kini, sebagian besar masyarakat sudah tidak peduli kecuali instansi militer.

Bahkan orang mempertanyakan, enam jenderal dibunuh pada 1 Oktober 1965 dini hari, kenapa bendera berkabung dimajukan sehari sebelumnya. Mungkin jalan keluarnya, bendera dipasang setengah tiang tanggal 1 Oktober pukul 06.00-12.00 dan dikibarkan penuh pukul 12.00- 18.00. Tetapi ini jelas merepotkan. Penetapan, atau sebaliknya penghapusan, hari bersejarah memang menjadi kebijakan politis suatu rezim. Semasa Soeharto berkuasa, bukan hanya peringatan lahirnya Pancasila yang dilarang, tetapi juga Hari Buruh, 1 Mei.

Ketika Awaluddin Djamin menjadi menteri tenaga kerja pada 1966, dia belum berhasil menghapus acara kaum buruh itu karena serikat pekerja cukup kuat. Namun hal ini baru tercapai setahun kemudian. Walaupun reformasi telah berjalan 10 tahun, upaya menetapkan Hari Buruh sebagai hari libur nasional belum tercapai sampai sekarang dan tidak ada satu partai politik pun yang serius memperjuangkannya. Pada 1 Juni 1945 Soekarno berpidato tentang dasar negara yang dinamainya Pancasila.

Sejak 1970 peringatan hari lahirnya Pancasila itu dilarang Kopkamtib sampai berakhirnya pemerintahan Soeharto. Pada diorama Monas, tatkala dirancang sebelum 1965, terdapat diorama hari lahir Pancasila 1 Juni. Ketika pembangunannya diselesaikan pada 1970, diorama itu dihilangkan. Hampir tiga dekade kelahiran Pancasila tabu diperingati. Ternyata larangan itu tidak mangkus lagi setelah era reformasi.

Peringatan Tahun 2008

Pada 2008 peringatan Kesaktian Pancasila dilakukan pada 30 September 2008 jam 24.00. Acara itu dimajukan karena tanggal 1 Oktober bertepatan dengan Hari Raya Idul Fitri. Sedangkan pada tanggal 30 September, seusai salat magrib dan isya, biasanya umat Islam melakukan takbiran. Jadi peringatan Kesaktian Pancasila diapit oleh dua ritual religius. Tentu hal ini amat merepotkan.

Bila biasanya pada malam takbiran orang sudah berada di kampung halaman atau sedang bercengkerama di tengah keluarga setelah sebulan berpuasa, kini terpaksa pergi ke Lubang Buaya untuk melakukan upacara di tengah malam buta. Di samping itu, terasa paradoksal karena malam takbiran merupakan malam kemenangan bagi umat Islam setelah berjuang sebulan penuh menahan hawa nafsu. Sementara itu, malam 30 September merupakan malam kekerasan sekaligus kekalahan pahit bagi tentara nasional karena demikian banyak perwira tinggi secara serempak hilang nyawanya tidak dalam peperangan.

Tertangkapnya sekaligus enam orang jenderal dalam suasana damai memperlihatkan bahwa fungsi intelijen militer lumpuh. Malam nahas 30 September 1965 itu jelas sangat menyakitkan, terutama bagi para keluarga korban. Sejarawan senior Taufik Abdullah menjulukinya "Malam Jahanam", meminjam judul drama karya Motinggo Busye, walaupun sesungguhnya malam-malam sesudah itu merenggut korban sekitar setengah juta manusia Indonesia, tidak kalah "jahanamnya" dan jangan dilupakan.

Akhirnya, menurut hemat saya, sebagai jalan keluar dari upacara yang bagaikan memakan buah simalakama, ada tiga opsi yang bisa dilakukan. Pertama, menggeser peringatan tersebut bila dimaksudkan mengenang tujuh pahlawan revolusi pada 10 November. Jenazah ketujuh orang itu telah dimakamkan di Taman Pahlawan Kalibata pada 5 Oktober 1965. Semuanya sudah diangkat sebagai pahlawan nasional. Karena itu selayaknya mereka dikenang bersamaan dengan pejuang lainnya justru pada peringatan Hari Pahlawan.

Kedua, bila aspek kehebatan Pancasila yang ingin ditonjolkan lebih tepat bila upacara tersebut digabungkan dengan peringatan lahirnya Pancasila, tiap 1 Juni. Ketiga, seandainya ingin tetap mempertahankan tempat dan tanggal yang sama (1 Oktober di Lubang Buaya), seyogianya acara itu dipimpin oleh Panglima TNI, bukan oleh Presiden, sesuai dengan Keputusan Menteri Utama bidang Pertahanan dan Keamanan Jenderal Soeharto tertanggal 29 September 1966.(*) 
Opini Okezon 30 September 2009
Asvi Warman Adam
Sejarawan LIPI