26 September 2009

» Home » Republika » Meraih Kejayaan Idul Fitri

Meraih Kejayaan Idul Fitri

Seiring dengan berlalunya bulan suci Ramadhan, dan kemudian ditutup dengan hari raya Idul Fitri, umat Islam selalu menggambarkannya sebagai hari kemenangan. Persepsi demikian diterima begitu saja tanpa reserve atau sikap kritis. Bahkan, para ulama dan tokoh-tokoh Islam, jargon kemenangan ini selalu ditampilkan sekadar membuat hati umat Islam menjadi terteram, karena merasa telah aman dari segala dosa dan berbagai prilaku destruktif terhadap Islam.
Apakah sesungguhnya elemen-elemen destruktif yang menjadi perintang terwujudnya kejayaan Islam di muka bumi? Sesungguhnya yang disebut sebagai umat yang memiliki kejayaan hanyalah umat mukmin. Hal ini dinyatakan dalam Alquran surah Munafiqun ayat 8 (63:8) :  Sesungguhnya kejayaan itu milik Allah, Rasul-Nya, dan kaum mukmin . Secara semantik kata  izzah yang dalam bahasa Indonesia diterjemahan dengan kejayaan, rasanya kurang lengkap untuk menggambarkan kata  izzah itu sendiri. Karena kata  izzah dalam bahasa Arab bermakna keagungan, keperkasaan, kewibawaan, dan kebesaran yang disebabkan oleh perilaku dan akhlaknya yang luhur sehingga dapat menciptakan kehidupan dunia yang bahagia dan keselamatan di akhirat. Bertitik tolak dari ayat ini, maka kita mencoba mengevaluasi dan mengkritisi kondisi umat Islam Indonesia dan kaum Muslim di berbagai belahan dunia menjelang Idul Fitri sekarang ini.

Pilar-pilar kejayaan umat
Dalam kehidupan manusia di dunia ini, eksistensi masyarakat, baik masyarakat Muslim maupun non-Muslim selalu ditunjang dua pilar utama. Yaitu, adanya masyarakat (umat) dan ulama, atau dalam terminologi sosiologis disebut rakyat dan pemimpin. Suatu umat akan mencapai kejayaan manakala pemimpin mereka adalah orang-orang baik, dan rakyat mereka merupakan manusia yang baik pula. Bila hanya pemimpin yang baik tetapi rakyatnya bobrok, hidupnya terbelenggu dalam kebodohan, dapat dipastikan mereka bukanlah golongan atau masyarakat yang jaya. Begitu juga, bilamana rakyatnya baik tetapi pemimpinnya adalah orang yang bermental buruk, menjadi kaki tangan musuh, atau hanya menjadi kepanjangan tangan orang-orang jahat di dalam negeri, maka sudah pasti masyarakat demikian tidak akan menjadi jaya.

Ibarat pemeo, sebuah batalion yang prajuritnya bejiwa singa sedang pemimpinnya berjiwa kambing, pasti lumpuh di hadapan musuh-musuhnya. Sebaliknya, bila prajuritnya bermental kambing tetapi pemimpinnya bermental singa, maka kambing-kambing ini akan ikut bermental singa tatkala menghadapi musuhnya. Karena itu, suatu negara secara mutlak memerlukan masyarakat yang baik dan pemimpin yang baik bila ingin mencapai kejayaan.

Mungkinkah umat Islam akan meraih kejayaannya, ataukah akan terus terpuruk di bawah telapak kaki musuhnya? Kejayaan kaum Muslim hanya bisa diraih bila umat ini mampu menghadirkan syarat-syarat kejayaan dan menghindari segala unsur yang menghancurkan upaya mencapai kejayaan. Dalam hal ini Rasulullah bersabda dalam hadis riwayat Baihaqi dan Hakim: 'Akan tiba saatnya di akhir zaman orang-orang Islam yang ahli ibadah bodoh-bodoh sedang ulamanya orang-orang fasik.

Hadis ini sanadnya lemah, tetapi isi dan kandungannya sepenuhnya sesuai dengan realitas. Di kalangan ahli hadis dikatakan lemah sanadnya tetapi shahih matannya. Realitas kehidupan sosial masyarakat Muslim memang demikian adanya. Setiap komunitas atau umat yang warganya bodoh dan ulamanya fasik, menolak menegakkan kebenaran karena kepentingan kesenangan duaniawi, maka akan cepat umat ini sirna dari muka bumi. Contohnya adalah adikuasa Uni Soviet yang runtuh 1989 padahal baru berdiri pada 1923. Fakta historis semacam ini menunjukkan kebenaran hadis Rasulullah di atas.

Sebagaimana nubuwat Rasulullah di atas, maka umat Islam hendaknya muhasabah, berani mengevaluasi diri agar dapat keluar dari kondisi terpuruk yang mencekam seluruh dunia Islam. Kini, kita tidak mendapatkan ulama yang berani mengibarkan panji-panji penegakan syariat Islam dan menyatakan jati dirinya di hadapan musuh-musuh Islam. Begitu juga umat Islam tidak akrab dengan Alquran dan sunah Rasulullah, walaupun mereka berduyun-duyun memenuhi masjid untuk shalat tarawih dan mendatangi lapangan untuk shalat Idul Fitri. Namun, ternyata mereka tidak paham apa itu Islam sebenarnya dan untuk apa Islam itu dipeluk sebagai sebuah agama, yaitu penataan hidup di muka bumi ini. Umat sebagai pilar di satu sisi dan ulama sebagai pilar di sisi lainnya, kondisinya benar-benar sangat parah: umat yang bodoh dan ulama yang fasik.

Abdullah bin Amr, salah seorang sahabat Rasul yunior, putra dari Amr bin Ash, Abdullah bin Amr menyatakan, ''Sebagaimana adanya kamu, maka begitulah adanya pemimpin kamu.''Artinya, umat yang bodoh sulit melahirkan pemimpin yang cerdas. Umat yang bermental munafik sulit melahirkan pemimpin yang bermental mukmin sejati. Umat yang bermental emperior sulit melahirkan pemimpin yang percaya diri.

Berpijak pada aksioma di atas, maka kini saatnya agar seluruh umat Islam Indonesia melakukan introspeksi, apakah mereka yang rajin ke masjid dan tekun beribadah, rajin tadarrus Alquran, benar-benar sudah menjadi orang yang pandai dalam ilmu keislaman ataukah sebenarnya dia merupakan ahli ibadah yang bodoh seperti hadis di atas? Sebaliknya, ribuan ulama di Indonesia harus berani secara jujur mengevaluasi diri apakah mereka termasuk ulama fasik atau ulama mujahid?.

Ulama fasik, yaitu mereka yang tahu kebenaran tetapi meninggalkan kebenaran itu demi kesenangan duniawi. Cara meninggalkan kebenaran, antara lain, melakukan takwil terhadap ayat Alquran yang sudah jelas, atau mengerdilkan pengertian suatu ayat. Misalnya, jihad hanya dimaknai sebagai amal saleh. Atau, istilah kafir diganti dengan non-Islam agar tidak menyinggung perasaan orang kafir. Perilaku demikian sangat membahayakan otentitas Islam, dan melahirkan doktrin  talbisul iblis yang biasa dilakukan oleh pendeta Yahudi dan Nasrani seperti QS Al-Baqarah, 2:42.  Dan janganlah kalian talbiskan kebenaran dan kebatilan, dan kalian sembunyikan kebenaran sedang kalian mengetahuinya .

Sebaliknya, ulama yang memperalat ayat-ayat Alquran demi mendukung ambisi dan ideologi sesat seperti memanipulasi istilah jamaah yang seharusnya untuk khilafah dipakai untuk kelompok gerakannya. Pola-pola penyimpangan Islam oleh para ulama semacam ini bukanlah hal baru, tetapi sudah menjadi penyakit di kalangan agamawan sejak agama ini muncul di muka bumi.

Berdasarkan sabda Rasul dan pernyataan Abdullah bin Amr bin Ash, bahwa keterpurukan umat Islam akibat dari kefasikan ulama dan kebodohan umat. Alangkah bijaksana, bila kaum Muslimin dewasa ini mengukur diri dan dengan jujur. Mungkinkah umat Islam dapat meraih kejayaan, sementara kondisi mereka serba negatif, baik pada level umat maupun ulama. Setelah bulan Ramadhan yang suci ini patut dan wajib kita introspeksi diri, apakah kita akan melestarikan kebodohan dan terbelenggu dalam cengkeraman ulama fasik, sehingga nasib kita semakin terpuruk? Atau, kita harus bangkit kembali dengan membangun paradigma baru berlandaskan Alquran dan sunah Rasul-Nya? Hanya dengan cara inilah martabat dan keagungan Islam dan kaum Muslim dapat diraih, yang akan melahirkan Islam sebagai  rahmatan lil alamin .

Opini Republika : 24 September 2009
Muhammad Thalib (Amir Majelis Mujahidin)