14 Desember 2011

» Home » 15 Desember 2011 » Opini » Suara Merdeka » Norman dan Mental Polisi

Norman dan Mental Polisi

KEPUTUSAN Norman Kamaru, sebelum diberhentikan dengan tidak hormat dari Polri, menjadi catatan tersendiri untuk pola perekrutan polisi. ’’Proses perekrutan akan kami evaluasi, dan Polri akan mengecek kesiapan mental pelamar,’’ demikian penyataan Mabes Polri seperti disampaikan Kepala Divisi Humas Irjen Saud Usman Nasution (SM, 08/12/11).
Anggota Brimob Polda Sulsel itu terkenal lewat video lipsync-nya menirukan penyanyi India Shahrukh Khan melantunkan ’’Chaiyya-chaiyya’’ yang diunggah di Youtube dan dilihat oleh 3.022.951 orang. Ketidaksengajaan yang membuahkan ketenaran itu menggiringnya ke dunia entertainment. Dia yang pada awal kariernya di dunia keartisan menyatakan tak akan tergoda dan tetap ingin menjadi bhayangkara negara, akhirnya goyah. ’’Saya cuma ingin keluar saja,’’ katanya, seperti ingin mengabarkan kepada publik bahwa keputusannya itu sudah bulat.

Penulis melihat ada dua hal penting dari permasalahan yang mungkin oleh sementara pihak dianggap enteng. Bila halitu dikaitkan dengan kelembagaan polisi, akan menjadi permasalahan serius, sebagaimana diisyaratkan Kadiv Humas, yaitu terkait dengan mental polisi. Dalam penerimaan polisi, baik pada tahap seleksi, pendidikan, maupun dinas aktif, persoalan mental ditempatkan pada posisi prioritas penilaian.

Alasan utamanya karena mental berhubungan erat dengan kejiwaan seseorang saat dihadapkan kondisi tertentu. Bagaimana polisi penyidik dihadapkan pada iming-iming sejumlah uang, bagaimana pula saat ia harus memutuskan penanganan perkara dilanjutkan atau dipetieskan karena ada intervensi, atau yang paling sederhana misalnya, bagaimana bila ada pelanggar lalu lintas menawarkan uang damai agar tidak ditilang.

Pada kasus-kasus seperti itu mentalitas polisi benar-benar diuji. Pasalnya ia berada dalam ranah bisa mengambil keputusan secara perorangan (kewenangan diskresi). Keputusan tadi secara normatif harus bisa dipertanggungjawabkan secara hukum. Tapi ketika mental sudah goyah, keputusannya pasti masuk ranah abuse of power  atau penyalahgunaan wewenang.

Substansi pertama terkait dengan kasus Norman adalah pada pada proses perekrutan harus dipastikan bahwa jadi polisi bukan profesi coba-coba atau batu loncatan. Bila calon polisi dengan mental demikian lolos seleksi, besar kemungkinan loyalitas pengabdiannya layak dipertanyakan. Bahkan ia akan menjadi benalu dalam organisasi. Polisi dengan mental seperti itu selalu membandingkan sisi keuntungan yang diperoleh dari pengabdiannya.

Aktualisasi Diri

Kedua, menjadi kajian serius bagi petinggi Polri dalam membuat kebijakan menghadapi kasus seperti Norman. Pada awal melejitnya Norman, beredar wacana positif mengembangkan bakat anggota Briomob itu yang bisa menguntungkan pribadinya sekaligus korpsnya. Polri menggagas dia menjadi ’’duta seni’’, dan lewat dia misi-misi Polri yang humanis tapi profesional dapat dikibarkan sejalan dengan tampilnya dia di dunia hiburan.

Dalam perkembangannya, mengapa hal ini tidak terealisasi? Bila konsep ’’penyaluran bakat’’ anggota polisi pada bidangnya menjadi bagian strategi untuk lebih mendekatkan dengan masyarakat, hal itu bisa menguntungkan organisasi. Pada sisi lain, anggota polisi dengan bakatnya masing-masing juga bisa mengaktualisasikan dirinya secara maksimal. 

Bisa jadi, Norman sebagaimana dikatakan Abraham Maslow lewat teori Hierarchy of Needs atau Hierarki Kebutuhan memang butuh pengakuan dari masyarakat bahwa dia bisa eksis di bidang seni. Kebutuhan akan aktualisasi diri dan pengakuan orang lain setara dengan kebutuhan manusia akan kebutuhan dasar lainnya.

Sebagai organisasi profesional, tak ada salahnya bila Mabes Polri mengonsep pemberian wadah bagi anggota untuk mengabdikan diri sebagai pelayan, pelindung, dan pengayom masyarakat dengan tidak mengerdilkan potensi lain yang dimiliki. Bila hal ini sudah dilakukan tapi tetap saja muncul ketidakleluasaan anggota dalam mengembangkan potensi dirinya maka jalan seperti yang ditempuh terhadap Norman menjadi solusi tetap. Organisasi tak boleh kalah oleh kemauan atau ambisi pribadi anggota sehingga sidang kode etik profesi bagi Norman memang seharusnya dilakukan untuk pembelajaran agar tidak muncul Norman lain di organisasi kepolisian. (10)

— Herie Purwanto SH MH, Kasubbag Hukum Polres Pekalongan Kota, dosen Fakultas Hukum Universitas Pekalongan (Unikal
Wacana Suara Merdeka 15 Desember 2011