28 Mei 2010

» Home » Suara Merdeka » Salah Kaprah Fogging Mandiri

Salah Kaprah Fogging Mandiri

BEBERAPA waktu yang lalu, karyawan sebuah dealer sepeda motor terkenal di Indonesia datang ke kantor penulis. Bahkan, karyawan salah satu bank lokal terbesar di Jawa Tengah pun tidak ketinggalan. Mereka menanyakan bagaimana prosedur untuk meminta fogging atau pengasapan (pengabutan dengan campuran insektisida pembunuh nyamuk).

Dalam rangka bakti sosial sebagai ucapan terima kasih pihak perusahaan terhadap warga sekitar, menurut keduanya akan dilakukan pengasapan gratis sebagai agenda utamanya. Sekarang, fogging sudah menjadi komoditas yang diperhitungkan dalam memperoleh perhatian massa.

Masyarakat sementara ini masih menganggap, bahwa pengasapan paling tidak dapat mereduksi ketakutan terhadap keganasan demam berdarah (DB) yang dengan cepat dapat menimbulkan kematian, mendorong masyarakat untuk segera bertindak dengan cara pola pikir mereka sendiri.


Fenomena yang sekarang sedang terjadi adalah beberapa kelurahan ataupun desa berlomba-lomba membeli secara swadaya segala bentuk peralatan pengasapan (swingfog) dan insektisida untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Mereka mengira bahwa tindakan pemerintah dalam upaya penanggulangan DB sangatlah lambat.

Dalam praktik di lapangan, penanganan masalah DB identik dengan fogging , yang seolah-olah sebagai dewa penyelamat dalam mengakhiri penularan DB, bahkan dianggap dapat mencegah kematian.

Ada keluhan masyarakat yang menyatakan bahwa setelah ada kematian baru dilakukan tindakan fogging. Sebuah reaksi yang sangat lamban dari pihak pemerintah. Sehingga sering terjadi pelanggaran prosedur dalam permintaan fogging yang seharusnya dipenuhi. Ancaman DB memberikan implikasi yang sangat luas. Bisa secara psikologis, bahkan politis.

Pengasapan sebenarnya bukan untuk pencegahan dan tidak mudah dalam memutuskan tindakan tersebut. Tetapi, masyarakat telah meyakini bahwa, tindakan itu dilakukan untuk upaya  pencegahan, yang secara psikologis berdampak memberikan rasa aman.

Pengasapan seharusnya dilakukan ketika telah dibuktikan adanya indikasi penularan pada wilayah tersebut, yaitu adanya dua atau lebih penderita dan ditemukannya jentik-jentik nyamuk di berbagai tampat penampungan air.

Jadi, tidak semua kasus DB harus dilakukan fogging. Misalnya, ada kasus DB yang berasal dari luar wilayah, kemudian pulang ke kampung halamannya, tidak harus di sekitar wilayah tempat tinggalnya dilakukan fogging.
Terjunkan Jumantik Fogging juga sangat tidak berhubungan dengan kematian yang diakibatkan DB. Seseorang yang telah tertular DB bukan berarti pasti terhindar dari kematian setelah dilakukan pengasapan. Kematian adalah soal lain karena boleh jadi kemungkinan terlambat  dalam memperoleh tindakan medis.

Beberapa waktu yang lalu untuk menggugah masyarakat berperan aktif dalam PSN, Pemprov Jawa Tengah menggagas menerjunkan kader-kader kesehatan sebagai juru pemantau jentik (jumantik). Seberapa pun penurunan kasus DB akibat diterjunkannya kader-kader tersebut sebenarnya tidaklah menjadi sangat penting.

Melembaganya Gerakan 3M di masyarakat itulah sebenarnya yang menjadi tujuan utamanya. Tetapi, yang terjadi di lapangan justru menjadi kontraproduktif. Para kader kesehatan sebagai juru pemantau jentik (jumantik) yang dalam tugasnya diberikan honorarium, ditinggalkan masyarakat dengan anggapan bahwa itulah yang memang harus dikerjakan para jumantik tersebut, sesuai dengan imbalan yang telah diterimanya.

Tidak ada alasan bagi masyarakat untuk membantunya. Sehingga yang sejatinya masyarakat juga diharapkan mengadopsi Gerakan 3M yang dipraktikkan para kader jumantik, tidaklah terjadi.

Merebaknya fogging mandiri sebenarnya tidak perlu ditakuti. Ada peran pemerintah yang sebenarnya telah diambil alih oleh masyarakat. Tentu saja ini sangat positif, membantu meringankan beban pemerintah. Tinggal bagaimana hal ini bisa dibarengi dengan program-program pendukung. Boleh jadi peran pemerintah menjadi bergeser ke arah pengawasan. Biarkan urusan pengasapan diserahkan kepada swasta dan masyarakat saja.

Tidak kalah penting, mewajibkan aplikasi Gerakan 3M bersamaan dengan pelaksanaan pengasapan. Diharapkan pengertian Gerakan 3M akan tertanam kepada masyarakat, bahwa tindakan yang bijak dan harus dilakukan sebenarnya Gerakan 3M, bukan fogging. Pasalnya pengasapan  yang membabi buta bisa merusak lingkungan, mempercepat terjadinya resistensi terhadap insektisida, bahkan keracunan terhadap manusia.(10)

— Awaluddin Abdussalam SKM MKes (Epid), Kepala Seksi Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Kabupaten Brebes

Wacana Suara Merdeka 29 Mei 2010