25 April 2010

» Home » Media Indonesia » Sejuta Kertas Rencana dari Istana ke Istana

Sejuta Kertas Rencana dari Istana ke Istana

PRESIDEN Susilo Bambang Yudhoyono bersama seluruh anggota Kabinet Indonesia Bersatu jilid II (KIB II) dan seluruh pemimpin pemerintah provinsi (gubernur), serta pengamat dan pengusaha telah selesai melakukan rapat kerja. Presiden menyebut acara tersebut sebagai forum sersan, serius tapi santai, atau mungkin bersantai, karena di istana, tapi sambil diskusi serius. Rapat yang digelar selama tiga hari di Istana Tampaksiring, Bali, yang dipimpin atau dipantau langsung oleh Presiden, bukanlah raker yang pertama. Pada awal Februari 2010, Presiden Yudhoyono telah menggelar rapat serupa di Istana Cipanas, Jawa Barat, dengan peserta yang tidak terlalu berbeda dengan peserta raker di Bali. Pada saat itu, raker yang juga menjadi penutup program 100 hari, meluncurkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2010-2014.

Sebelum di Istana Cipanas, pemerintahan SBY juga telah menggelar pertemuan puncak para pimpinan pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Raker yang disebut National Summit atau ajang rembuk nasional akbar itu diselenggarakan pada akhir Oktober 2009 di Jakarta, dekat Istana Merdeka, diikuti oleh sekitar 1.400 peserta. Artinya, pertemuan Istana Tampaksiring merupakan roadshow raker di istana yang ketiga dari pemerintahan SBY.



Rapat kerja yang dilakukan pemerintah tentu sangat diharapkan dan didukung karena masyarakat sangat berharap segera muncul percepatan penyelesaian berbagai masalah sosial, ekonomi, birokrasi, hukum, dll, yang seolah semakin tidak jelas ujung dan pangkalnya. Namun, bila mencermati hasil dan isi berbagai raker, saya yakin tidak hanya masyarakat awam tetapi juga para pimpinan daerah maupun pusat semakin pusing karena tidak kunjung jelas solusi dan langkah konkret yang akan dilakukan.

Bila pada National Summit para menteri KIB II yang baru saja dilantik masih mengumpulkan masalah dan masukan dari seluruh pemangku kepentingan yang hadir, masyarakat masih mafhum. Walaupun sudah diprediksi, pertemuan tersebut tidak akan efektif karena mengumpulkan banyak ahli dan pengambil kebijakan tanpa didahului kerangka besar dari strategi dan kebijakan yang akan dilakukan pemerintah, maka dipastikan hanya akan menjadi forum keluh-kesah dan usulan tanpa arah jelas.

Saat pertemuan kedua di Istana Cipanas, yang ditandai dengan berlakunya RPJM 2010 sebagai arah strategi pemerintahan SBY selama 5 tahun ke depan, masyarakat juga masih sabar, meskipun ada keraguan RPJM 2010-2014 akan menjadi acuan bagi strategi pemerintah. Pengalaman membuktikan RPJM 2004-2009 bukanlah dokumen wajib karena keputusan Kementerian Keuangan jauh lebih dominan atau pembangunan yang ditentukan oleh rencana anggaran (budget driven development strategy), bukan sebaliknya. Kekhawatiran terbukti. Dalam RAPBN-P 2010 yang diusulkan pemerintah pada bulan Maret 2010, atau kurang dari dua bulan setelah penerbitan RPJM 2010-2014, target dan strategi yang disampaikan berbeda dengan target RPJM. Pertumbuhan sektor manufaktur misalnya, dalam RPJM ditargetkan sebesar 4,2%-4,3% di tahun 2010, dalam RAPBN-P 2010 justru dikoreksi menjadi 3,7%, lebih rendah daripada target APBN yang sebesar 3,8%. Mungkin pemerintah menganut strategi shifting target juga pada RPJM sebagaimana terjadi pada APBN.

Tidak ada yang baru

Pertemuan Tampaksiring menghasilkan 10 direktif Presiden (tidak menggunakan istilah arahan) yaitu, pertumbuhan lebih tinggi; pengangguran menurun dan menciptakan lapangan kerja yang lebih banyak; kemiskinan harus makin menurun; stabilitas ekonomi; pembiayaan dalam negeri yang makin kuat; ketahanan pangan dan air meningkat; ketahanan energi meningkat; daya saing meningkat; dan memperkuat green economy (ramah lingkungan).

Sejujurnya, tidak ada yang baru dari kesepuluh direktif Presiden tersebut karena itulah tujuan yang harus dicapai dalam pembangunan. Dalam rembuk nasional arahan tersebut telah masuk dalam daftar, dokumen RPJM 2010-2014 bahkan telah menyusun dengan data-data rinci dalam tiga buku yang tebalnya tidak kurang dari 600 halaman. Bukan itu yang ditunggu masyarakat, bukanlah tujuan global, tetapi penjelasan bagaimana strategi dan kebijakan yang akan dilakukan untuk mencapainya.

Selama lima tahun KIB I, stabilitas makroekonomi telah tercapai, pertumbuhan tinggi telah didapat, tetapi toh ekonomi riil tidak bergerak cepat karena masih banyaknya masalah yang dihadapi. Akhirnya kesejahteraan tidak meningkat signifikan. Mungkin benar rakyat yang berada di bawah garis kemiskinan telah berkurang dengan BLT dan raskin. Tetapi, orang yang berada pada posisi mendekati kemiskinan jumlahnya masih sangat banyak.

Sebagaimana diketahui dalam pertemuan Istana Tampaksiring, banyak konglomerat yang hadir. Tidak ada yang salah dengan kehadiran mereka. Bahkan keterlibatan swasta sangat diperlukan. Namun, bila pemerintah belum memiliki strategi yang jelas kemudian para pengusaha justru telah dengan rinci menawarkan usulan kebijakan dan juga proyek yang harus dilakukan, cara ini tidak hanya buruk dalam praktik penyusunan kebijakan publik, tetapi juga membahayakan. Sangat mungkin pemerintah akhirnya mengadopsi masukan tersebut dan melupakan peran pemerintah sebagai penjaga kepentingan baik pemodal besar maupun pemodal kecil dan mikro.

Raker tidak boleh salah arah. Pemerintah tidak hanya membuat rencana tujuan, tetapi rencana dan keputusan cara untuk mencapainya. Pemerintah bukan akademisi, sehingga raker yang dilakukannya harus menghasilkan policy action bukan policy paper apalagi academic paper. Retret Tampaksiring adalah pertemuan besar ketiga, sayangnya tidak menghasilkan strategi implementasi karena beredar kabar, pemerintah daerah dan pusat harus segera mengerjakan pekerjaan rumah untuk menjabarkan 10 direktif Presiden tersebut. Mengapa terlalu banyak waktu diperlukan dan terlalu bertele-tele proses yang harus dilakukan.

Direktif untuk pengurangan kemiskinan pengangguran misalnya, adalah agenda lama yang telah ada bahkan sejak kampanye Presiden Yudhoyono 2004-2009. Namun, selama ini solusi dibuat tanpa melihat masalah dengan jujur. BPS tidak menyampaikan bahwa masalah pengangguran tidak hanya pada jumlah. Data jumlah orang miskin bisa misleading karena definisi orang bekerja yang digunakan BPS sangat longgar. Akibatnya, orang yang dikategorikan bekerja belum tentu memiliki penghasilan yang dapat memenuhi kebutuhan dasarnya. Demikian juga informasi tentang orang yang dianggap bekerja, ternyata sebagian besarnya (70%) merupakan pekerja informal. Fakta bahwa 55% penduduk hanya berpendidikan SD juga tidak dijadikan dasar untuk memutuskan peran pemerintah yang diperlukan.

Seharusnya telah dapat diputuskan solusi yang sesuai dengan karakter kemiskinan yang ada di masyarakat. Juga keberpihakan seperti apa yang harus diberikan agar penurunan angka kemiskinan dan pengangguran diikuti dengan peningkatan kesejahteraan. Saat ini sebagian besar masyarakat miskin yang berada di sektor pertanian hanyalah petani buruh. Di sisi lain petani produsen sebagian besarnya memiliki daya saing rendah karena tiadanya dukungan teknologi dan besarnya tekanan liberalisasi. Akibatnya, saat ini tidak ada insentif untuk memproduksi sehingga terpaksa menurunkan produksi dan mengurangi buruh. Pertemuan Tampaksiring semestinya dapat membuat keputusan untuk meningkatkan daya saing produk pertanian mereka dengan peran besar dalam memberikan teknologi dan menciptakan pasar bagi mereka. Dengan pemahaman masalah yang baik, petani kecil akan menjadi subjek bukan objek. Karena itu strategi untuk mewujudkan swasembada dan ketahanan pangan adalah strategi yang menjadikan para petani kecil sebagai fokusnya.

Demikian juga di sektor industri, puluhan juta orang yang bekerja di industri pengolahan saat ini menghadapi deindustrialisasi akibat penurunan daya saing karena meningkatnya biaya produksi akibat biaya energi yang terus meningkat. Bahan baku dan setengah jadi juga tidak stabil akibat tidak berkembangnya industri pendukung di dalam negeri serta tingginya ketergantungan bahan impor. Daya saing juga merosot akibat sempitnya pasar dalam negeri menghadapi liberalisasi perdagangan yang tanpa perencanaan. Akhirnya banyak industri melakukan pengurangan tingkat produksi maupun mengganti usaha produksi dengan usaha perdagangan. Akibatnya, kesejahteraan masyarakat tertekan, muncullah penganggur dan orang miskin baru. Raker Tampaksiring semestinya telah dapat memutuskan alokasi sumber energi alam bagi kepentingan dalam negeri baik untuk penyediaan listrik maupun menjaga harga pupuk sehingga daya saing dapat dipertahankan.

Sangat disayangkan bila raker tingkat tinggi tersebut tetap tidak mampu menghasilkan keputusan konkret yang benar-benar dapat menghilangkan bottleneck pada akar masalahnya. Padahal tersiar kabar, tahun ini pertemuan sersan tersebut akan dilakukan lebih sering, paling tidak 16 kali dalam setahun. Mungkin karena masih banyak istana di nusantara yang belum menjadi tuan rumah. Namun, bila tidak ada keberanian dari Presiden untuk mengubah strategi, raker dari istana ke istana tersebut hanya akan menambah berjuta lembar kertas rencana yang saat ini telah ada.

oleh Hendri Saparini Ekonom Econit, Doktor di bidang kebijakan industri
Opini Media Indonesia 26 April 2010