09 April 2010

» Home » Kompas » PDI-P dan Pemerintahan Bayangan

PDI-P dan Pemerintahan Bayangan

Bali kembali menjadi arena bagi Kongres PDI Perjuangan yang digelar pada 5-9 April 2010. Pada kongres V tahun lalu, ketua umum menjadi pusat perhatian publik. Namun, kali ini, koalisi versus oposisi berikut perlu-tidaknya kehadiran institusi baru—wakil ketua umum partai—hadir sebagai wacana dominan.
Koalisi versus oposisi memang tampak keras di permukaan. Isu ini bahkan menggiring keyakinan dan imajinasi publik tentang kerasnya sengketa yang membelah lingkaran utama partai. Namun, bisa dipastikan isu ini tak akan jadi titik kontroversi dalam kongres. Alasannya cukup sederhana: produk politik dari lebih dari 500 daerah (DPD dan DPC) memastikan PDI Perjuangan akan kembali menjadi kekuatan penyeimbang di luar pemerintah.

 

Kesimpulan daerah di atas bersifat konklusif dan mengikat utusan kongres. Mengikuti pembilahan klasik mengenai representasi (Riemer (ed), 1967; Abcarian, 1970; Hoogerwerf, 1972), sejarah PDI-P memastikan sifat representasi utusan kongres jauh dari memiliki kewenangan diskresi (trustee). Bahkan, sekadar menjadi politico pun tidak ada preseden yang mendukung. Utusan kongres adalah kombinasi antara sifat partisan dan delegasi yang tunduk pada sikap partai dan daerah yang diwakili.
Posisi daerah-daerah di atas, searah dengan bayangan sebagian elite partai, termasuk Megawati. Lebih dari itu, sebagaimana didemonstrasikan lewat survei Kompas beberapa hari lalu, mayoritas publik masih membayangkan kebutuhan akan hadirnya kekuatan oposisi efektif. Komentar lepas para ahli dan warga kebanyakan juga berada dalam logika yang sama. Boleh jadi, kecemasan atas ancaman watak kekuasaan yang tends to corrupt; dan kekuasaan absolut yang juga corrupt absolutely sebagaimana preposisi Acton menjadi pertimbangan bawah sadar publik. Pengalaman akumulasi dan sentralisasi kekuasaan di pusat dan di tangan Soeharto pada era Orde Baru cukup sebagai referensi untuk mencemaskan proposal koalisi yang beredar. Oposisi dibayangkan publik sebagai langkah preventif bagi kesehatan sistem politik. Koalisi, dengannya, menjadi isu yang praktis bukan isu bagi PDI-P.
Konsekuensi
Belajar dari lima tahun sebagai oposisi memastikan, berada di luar pemerintahan saja tidak cukup. Menjadi oposisi tampak romantik dan heroik. Akan tetapi, jauh dari efektif bagi kepentingan PDI-P apalagi bagi bangsa dan rakyat. Merosotnya suara PDI-P dalam dua pemilu pada tahun 2009 mengindikasikan ini. Sudah tentu Pemilu 2009 yang jauh dari demokratis boleh jadi merupakan penjelas pentingnya. Namun, kemerosotan suara pemilu di atas merupakan proxy indicators yang menggambarkan kega- galan PDI-P melakonkan fungsi linkage yang melekat dalam setiap partai.
Kini, tantangan terbesar kongres III justru di sini: bagaimana menghasilkan keputusan yang memungkinkan PDI-P bisa menjadi alternatif pemerintahan bayangan yang efektif bekerja (an effective working shadow government), bukan sebatas oposisi sporadik. Modal ke arah ini tersedia dengan memadai.
PDI-P memiliki Pancasila 1 Juni 1945 dan rangkaian ajaran Bung Karno sebagai fundamen ideologi. Modal ini bisa dengan mudah dikapitalisasi sebagai ciri pembeda pada berbagai leve— mulai dari kebijakan hingga perilaku berpolitik—dengan rezim penguasa dan kekuatan politik lain. Bahkan jadi ciri pembeda dengan ideologi-ideologi lainnya, termasuk neolib yang diusung pemerintah yang digerutui banyak orang. Yang diperlukan kini sederhana: menegaskan kembali posisi ideologis dan merumuskan instrumentasi agar Pancasila dan aneka ajaran Bung Karno bisa menjadi working ideology.
Dari sudut politik, PDI-P memiliki kontrol efektif di seluruh wilayah negara. Penyebaran kepala daerahnya adalah salah satu yang terluas. Lebih dari itu, sebagian adalah inovator andal yang diakui luas. Mereka adalah penerima berbagai penghargaan best practices penyelenggaraan pemerintahan daerah. Demikian pula dengan parlemen. Ranah satu-satunya yang berada di luar kontrolnya adalah eksekutif nasional. Tantangannya kini bagaimana merangkai simpul-simpul di atas ke dalam satu kesatuan logis berpartai yang sama sekali baru: logika berpartai yang menempatkan diri sebagai miniatur pengelolaan negara.
Hal di atas mengharuskan terjadinya transformasi mendasar kepartaian. Perancangan balik kelembagaan partai jadi kebutuhan mendasar. Hal ini untuk memastikan terbentuknya kelembagaan yang bisa efektif bekerja sebagai ”pemerintah”. Kelembagaan yang merangkum dalam kesatuan logis—mengikuti tiga wajah partai Katz and Meier (1994), bukan semata-mata DPP dan mata rantainya hingga anak ranting, tetapi wajah partai di negara dan grass-root. Berbagai informasi yang penulis dapatkan menegaskan, Mega—becermin pada kesulitannya dalam mengelola pemerintahan selama menjadi presiden—memiliki gambaran ideal ke arah ini. Kini, di tangan kongres, nasib gagasan ini diletakkan.
Transformasi kelembagaan harus ditopang transformasi manajemen kepartaian. PDI-P membutuhkan kalender politik nasional yang menggambarkan alur kerja dari suatu ”pemerintah bayangan” yang paralel terhadap kalender politik pemerintah. Sebagai oposisi, lima tahun perjalanan PDI-P antara tahun 2004 dan 2009 memastikan watak manajemen yang fragmented dan cenderung amatiran Hal ini mestinya tidak terlampau sulit untuk didisiplinkan melalui pengaturan alur waktu.
Lebih lanjut, pengalaman partai ini memastikan mendesaknya agenda penguatan sumber daya internal. Di tingkat nasional, PDI-P memiliki banyak sumber daya yang bukan saja belia dalam usia, tetapi secara teknis cukup andal. Namun, untuk menjadi pelaku yang kapabel dan kredibel secara politis dan ideologis masih perlu kerja ekstra. Apalagi, sejumlah elite masih setia mendemonstrasikan sikap dan tindakan politik yang jauh dari etis berdasarkan ukuran-ukuran Pancasila, sementara di tingkat lokal, kelangkaan kader kini menjadi persoalan pokok.
Berakhirnya kiprah politik generasi pertama kepala daerah PDI-P sebagai akibat pembatasan regulasi, menyisakan pekerjaan rumah yang tidak mudah bagi partai. Mendapatkan calon kepala daerah yang kapabel dan diterima kini jadi pekerjaan super sulit. Tidak aneh jika kecenderungan ”familisasi” dalam pencalonan kepala daerah jadi fenomena baru pada PDI-P. Kesemuanya menggambarkan sentralitas dari kaderisasi, regenerasi, dan fresh blood, sebagai tema- tema penting yang harus bisa diputuskan kongres kali ini.
Dalam keseluruhan transformasi di ataslah, isu kedua—perlu-tidaknya wakil ketua umum partai—seharusnya didiskusikan kongres. Tidak ada urgensi mendebatkan isu wakil ketua umum dalam isolasinya dari kebutuhan strategis transformasi kepartaian secara menyeluruh. Alasannya cukup sederhana: boleh jadi, introduksi struktur baru yang tampaknya jadi jembatan bagi penyelesaian persoalan regenerasi —salah satu persoalan krusial— justru akan semakin melapangkan jalan bagi PDI-P untuk menapaki dengan lebih yakin lagi jejak lamanya sebagai partai yang asyik dengan diri sendiri. Jika ini kembali berulang, kongres kali ini bisa berubah jadi jalan cepat menuju masa lalu: PDI era 1970-an-1980-an sebelum menjadi PDI Perjuangan.
Cornelis Lay Ketua Jurusan Politik dan Pemerintahan, Fisipol UGM

Opini Kompas 10 April 2010