20 Februari 2010

» Home » Republika » Mengatasi Calo Sebagai Musuh Bersama

Mengatasi Calo Sebagai Musuh Bersama

Oleh Martua Raja Taripar Laut SH (mahasiswa PTIK)

Program SIM dan STNK keliling yang dilakukan Polda Metro Jaya (PMJ) berhasil mengatasi permasalahan calo dan makelar pembuatan maupun perpanjangan Surat Izin Mengemudi (SIM), serta Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK).

Program ini bisa menjadi pilot project dalam mengatasi praktik percaloan yang meresahkan masyarakat selama ini. Selain program SIM keliling, Polda Metro Jaya juga mengembangkan sistem pelayanan SIM dan perpanjangan STNK lewat gerai mal.

Sejauh ini, memang baru Polda Metro Jaya yang menjalankan program SIM keliling dan gerai mal secara intensif. Namun, di daerah lain, juga sudah melakukan itu. Hanya pengoptimalan dan sosialisasinya saja yang kurang, sehingga masyarakat masih agak bingung, di mana program SIM keliling ini dilakukan. Misalnya, di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Masyarakat masih kesulitan untuk menemui petugas atau operator lapangan yang menangani masalah SIM keliling dan perpanjangan STNK.

Sementara itu, mengenai pelayanan di gerai-gerai mal, baru Polda Metro Jaya yang mengembangkannya. Meski baru uji coba, program gerai mal ini terbukti membantu masyarakat. Dalam kepadatan aktivitas, masyarakat bisa melakukan pengurusan SIM dan perpanjangan STNK dengan lebih santai dan rileks. Lebih dari itu, program gerai mal ini juga bisa menjadi media untuk lebih mendekatkan Polri dengan masyarakat.

Sebagai  pilot project , apa yang dilakukan Polda Metro Jaya ini bisa dijadikan contoh dalam rangka menjadikan calo sebagai musuh bersama. Harus ada pemahaman bersama bahwa praktik calo itu merugikan banyak pihak. Dalam lingkaran Polri sendiri, tidak boleh ada perbedaan persepsi dalam penanganan calo. Jangan sampai muncul fiksi bertentangan, di mana ada pihak yang berusaha melindungi calo dengan menjadi beking. Sementara di pihak lain, sedang ada perang besar-besaran terhadap calo.

Perlu satu tekad bahwa keberadaan calo yang meresahkan masyarakat harus segera mendapat penanganan, supaya kepercayaan terhadap Polri semakin meningkat. Sukses Polri dalam menangani berbagai tindak terorisme di dalam negeri harus diikuti keberhasilan di bidang lain. Jangan sampai keberhasilan Polri di satu bidang menjadi tidak terlihat dan dianggap tidak ada oleh masyarakat karena adanya pelayanan yang kurang bagus di bidang lain.

Dalam praktik di lapangan, Polri harus jujur bahwa mendapatkan kepercayaan dari masyarakat di bidang pelayanan cukup berat. Apalagi, baru-baru ini, KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) mengeluarkan hasil survei yang menempatkan Polri sebagai instansi dengan pelayanan terburuk. Polri jangan menganggap hasil survei yang dilakukan KPK sebagai sebuah penghinaan atau bentuk penurunan citra kepolisian. Hasil survei KPK itu harus menjadi cambuk bagi Polri untuk terus meningkatkan pelayanan. Polri harus berpegang pada filosofi, belajar dari kritik adalah langkah awal untuk maju.

Melalui program seperti SIM keliling dan perpanjangan STNK berjalan, tentunya sangat membantu Polri dalam upaya menaikkan citra di mata masyarakat. Dengan menjadikan calo sebagai musuh bersama, akan menjadikan Polri sebagai instansi hukum pertama yang menerapkan program terpadu, mengingat di lembaga dan instansi pemerintah yang lain belum ada penanganan secara sistemik terhadap calo.

Program SIM dan STNK keliling menjadi awal yang benar. Hanya saja dalam pelaksanaannya, para anggota Polri yang diberikan kepercayaan untuk menjalankan program tersebut harus bekerja secara profesional. Jangan sampai program SIM dan STNK keliling ini hanya menjadi formalitas dan sekadar ingin menunjukkan adanya perubahan di tubuh Polri. Harus ada upaya-upaya yang jelas dari Polri untuk menjadikan calo sebagai target utama pemberantasan. Misalnya, dengan memberikan sanksi tegas kepada calo yang tertangkap. Termasuk, adanya tindakan tegas terhadap oknum Polri yang bekerja sampingan sebagai calo atau menjadi beking.

Polri harus sadar bahwa di lembaga manapun, selalu ada oknum yang memanfaatkan kesempatan untuk mencari keuntungan sendiri. Oknum-oknum ini harus segera dideteksi dan langsung mendapat penanganan. Biasanya, cara kerja oknum-oknum ini justru lebih rapi dari para calo yang gentayangan di lapangan.

Karena melibatkan banyak oknum, banyak tangan, dan banyak pihak, usaha memberantas calo SIM dan STNK tidak semudah membalikkan telapak tangan. Selain harus dimulai dari tubuh Polri sendiri, perlu peran serta dan dukungan dari masyarakat. Praktik percaloan di lingkungan Samsat bisa dibilang sudah menjadi budaya. Ibarat pepatah, 'tidak akan ada asap kalau tidak ada api'.

Budaya tidak mau antre, ingin cepat, dan tidak mau terlalu 'ribet' menjadi faktor pendukung menjamurnya praktik percaloan di Indonesia. Sementara, untuk masyarakat dengan pola pikir asal praktis juga harus dihilangkan. Masyarakat terkadang lebih memilih mengeluarkan uang Rp 400 ribu untuk mendapatkan SIM C, asalkan mereka bisa dengan mudah mendapatkan SIM dibandingkan harus mengeluarkan uang harga resmi yang keseluruhan hanya berkisar 100 ribuan dengan menjalani prosedur resmi yang mereka anggap melelahkan dan berliku-liku. Walhasil, para calo dianggap sebaga solusi terbaik.

Kebanyakan pengguna jasa calo hanya berpikir sekilas, tanpa mempertimbangkan dampaknya. Banyak kasus kecelakaan yang melibatkan pengemudi pemilik SIM tembakan. Akibat seperti ini yang tidak dipikirkan oleh masyarakat dan para calo. Kalau sudah terjadi kecelakaan dan akibat fatal lainnya, masyarakat melimpahkan kesalahan kepada Polri. Tidak  fair juga kalau hanya Polri yang dijadikan sebagai  bumper kesalahan, sementara kesadaran hukum masyarakat masih kurang.

Untuk membangun kesadaran hukum masyarakat, tugas Polri juga harus terus menyosialisasikan bahwa membuat dan memperpanjang SIM serta STNK tidak serumit yang dibayangkan. Sosialisasi ini rutin dilakukan untuk menghilangkan persepsi salah di masyarakat. Kalau masyarakat sudah sadar hukum dan tertib administrasi, secara otomatis praktik percaloan akan berkurang.

OPini Republika 20 Februari 2010