15 Desember 2009

» Home » Kompas » Penyadapan dan Keadilan Publik

Penyadapan dan Keadilan Publik

Andai saja Rancangan Peraturan Pemerintah atau RPP tentang Penyadapan yang sedang dipersiapkan pemerintah tidak mengutak-atik wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi dalam melakukan penyadapan, reaksi penolakan mungkin tidak akan terjadi.
Persoalannya jelas, KPK adalah motor utama gerakan pemberantasan korupsi di Indonesia saat ini. Semua pihak memahami betapa vitalnya aktivitas penyadapan bagi upaya KPK mengungkap kasus-kasus korupsi. Keberhasilan KPK dalam membongkar skandal korupsi demikian identik dengan keberhasilan dalam menyadap perbincangan para pelaku.


Namun, di sinilah letak persoalannya. Pemerintah sering mengintroduksi atau memberlakukan kebijakan baru, tanpa mengindahkan regulasi yang sudah eksis dan terbukti cukup produktif, sebagaimana Undang- Undang KPK yang mengatribusikan otoritas melakukan penyadapan kepada KPK. Kebijakan baru juga sering dipaksakan tanpa mengindahkan rasa keadilan publik.
Pemutaran rekaman penyadapan perbincangan Anggodo Widjojo secara terbuka oleh Mahkamah Konstitusi memberi kesempatan kepada publik untuk mengetahui betapa buruk kondisi penegakan hukum kita. Publik kemudian juga menyadari pentingnya otoritas melakukan penyadapan oleh KPK dalam mengungkapkan keburukan penegakan hukum tersebut. Lalu tiba-tiba saja publik dihadapkan pada rencana kebijakan yang akan menutup kesempatan publik untuk menyaksikan hal yang sama pada saat-saat mendatang.
Rasa keadilan publik kian terabaikan karena pemerintah terkesan menafikan kritik dan masukan masyarakat dan KPK. Alih-alih kritik dan masukan itu dianggap sebagai intervensi terhadap urusan internal pemerintah. Perlu digarisbawahi, mengesampingkan keberatan-keberatan publik dalam kontes RPP Penyadapan sama saja dengan mengesampingkan prinsip fundamental bahwa sebuah regulasi harus dilahirkan melalui cara yang legitimate, nirpemaksaan.
Perumusan kebijakan mutlak mempertimbangkan legitimasi unsur-unsur masyarakat. Regulasi harus dijalankan karena benar-benar dikehendaki semua pihak, bukan hanya karena kepentingan pemegang kekuasaan. Tanpa mempertimbangkan keberatan publik, RPP Penyadapan hanya menunjukkan arogansi kekuasaan dan alpanya prinsip- prinsip perumusan kebijakan yang etis-partisipatoris.
Skala prioritas
Penyadapan memang tidak dapat dilakukan sembarang orang dengan sembarang alasan. Penyadapan sangat mungkin dilakukan dengan maksud-maksud yang jahat. Tak pelak lagi, regulasi tentang penyadapan memang dibutuhkan. Namun, kita saat ini juga dihadapkan pada perkara yang tidak kalah penting: kontinuitas upaya pemberantasan korupsi.
Korupsi sebagai kejahatan luar biasa harus dihadapi dengan upaya-upaya yang luar biasa juga. Salah satu upaya luar biasa itu adalah dengan memberikan otoritas kepada KPK untuk melakukan penyadapan terhadap perbincangan pihak-pihak yang terindikasikan terlibat korupsi, tanpa terkecuali para pejabat publik. Sebuah aktivitas yang dalam kondisi biasa memang hanya layak dilakukan atas izin lembaga peradilan.
Di sini, keseriusan pemerintah dalam menentukan skala prioritas diuji. Mana yang lebih mendesak, regulasi penyadapan atau penguatan sistem pemberantasan korupsi, terutama sekali penguatan lingkup otoritas KPK. Bertolak dari kondisi-kondisi faktual tentang akutnya problem korupsi dalam birokrasi kita, akal sehat mana pun pasti akan menyatakan penguatan sistem pemberantasan korupsi jauh lebih prioritas dan mendesak.
Pemaksaan regulasi penyadapan tanpa perombakan substansi menimbulkan tanda tanya besar tentang keseriusan pemerintah dalam memprioritaskan kebijakan-kebijakan yang mendukung perwujudan pemerintahan yang bersih dan transparan. Regulasi penyadapan itu juga akan membenarkan sinyalemen tentang skenario politik lain untuk melemahkan KPK setelah skenario kriminalisasi Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah berakhir dengan kegagalan.
Masih ada waktu bagi pemerintah untuk menyelaraskan regulasi penyadapan dengan substansi dan spirit UU KPK. Regulasi penyadapan juga harus dilakukan pada tingkat undang-undang dengan menjadikan UU KPK, UU Tindak Pidana Korupsi, dan UU Keterbukaan Informasi Publik (KIP) sebagai konsideran.
Privasi dan akuntabilitas
Salah satu yang melatarbelakangi regulasi tentang penyadapan adalah upaya perlindungan privasi pejabat publik. Para pejabat publik resah dengan tindakan-tindakan penyadapan oleh KPK. Dukungan kalangan DPR terhadap RPP Penyadapan juga didasarkan pada keresahan yang sama. Perlu digarisbawahi, privasi pejabat publik dibatasi oleh prinsip akuntabilitas dan hak publik atas informasi. Merujuk pada UU KIP, seseorang menjadi pejabat publik karena dia menjalankan fungsi-fungsi publik sebagaimana diatur dalam undang-undang (prinsip mandatori) serta karena dia didanai dengan dana publik (prinsip penggunaan dana publik).
Kedua prinsip ini mengharuskan pejabat publik pada aras dan lini mana pun untuk terbuka terhadap pengawasan publik (public scrutiny). Hak publik atas informasi selalu mencakup hak untuk mengawasi perilaku dan tindakan pejabat publik (right to observe). Pasal 18 UU KIP dengan jelas menyatakan, prinsip-prinsip perlindungan privasi tidak berlaku untuk mereka yang menduduki jabatan-jabatan publik.
Di sini, concern melindungi privasi pejabat publik dalam konteks regulasi penyadapan jelas harus dikritisi. Pejabat publik karena alasan mandatori dan penggunaan dana publik harus menerima konsekuensi berupa ruang privasi yang terbatas. Pejabat publik dengan demikian juga sepatutnya menjadi obyek penyadapan lembaga kredibel seperti KPK. Penyadapan sebagai bagian dari kontrol terhadap akuntabilitas pejabat publik, sebagai bagian dari upaya mengusut penyalahgunaan mandat dan dana publik.
Agus Sudibyo Wakil Direktur Yayasan Sains Estetika dan Teknologi, Jakarta
Opini Kompas 16 Desember 2009