15 Desember 2009

» Home » Okezone » Karut-Marut Politik Kita

Karut-Marut Politik Kita

DALAM sebuah pembicaraan di luar studio televisi, tokoh Reformasi Prof Dr Amien Rais mengatakan kepada saya, ?Mas Ikrar, kalau saya melihat politik kita saat ini, mirip dengan politik pada saat saya masih SMA, partai-partai politik saling bertarung tak berujung pangkal. Perjuangan mereka kadang bukan untuk bangsa, tapi lebih untuk kelompok sendiri.?

Apa yang dikatakan oleh Guru Besar Universitas Gadjah Mada itu ada benarnya. Coba kita lihat bagaimana partai-partai politik saat ini bersilat lidah di dalam dan di luar parlemen membicarakan kasus Bank Century. Sidang Panitia Hak Angket yang disiarkan langsung oleh jaringan televisi swasta kadang menggelikan.

Barangkali karena ada siaran langsung, mereka seakan takut mendiskusikannya secara serius. Maka yang tampak di layar televisi adalah perdebatan politik yang kurang bermutu terkait dengan siapa yang sepatutnya dipanggil oleh panitia hak angket tersebut. Hebatnya lagi, seperti diuraikan oleh Ketua Panitia Hak Angket dari Partai Golkar, Idrus Marham, daftar orang yang mewakili institusi itu akan keluar dengan sendirinya walau perdebatan tersebut belum selesai.

Politik memang sesuatu yang menyenangkan dan menghibur, tapi kadang kala pula menggelikan atau bahkan memuakkan. Itulah apa yang dipertontonkan para politikus kita saat ini. Politik bukan lagi sesuatu yang serius membicarakan masa depan bangsa, melainkan suatu pertarungan politik mengenai siapa mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana? Kasus Bank Century menunjukkan betapa partai-partai politik saat ini sedang berupaya untuk mendapatkan keuntungan politik darinya.

Konflik kepentingan lebih mengemuka. Kalaupun terjadi konsensus politik, semua tergantung pada keuntungan apa yang mereka dapatkan, bukan konsensus untuk mencari jalan keluar atas masalah pelik itu. Karut-marut politik yang terjadi ini akan amat membahayakan masa depan demokrasi di negeri ini. Suatu yang menarik untuk disimak ialah perdebatan politik sering kali terjadi bukan di dalam parlemen, melainkan melalui media massa.

Contoh paling konkret ialah saat Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengadu kepada pers betapa Ketua Umum DPP Partai Golkar Aburizal Bakrie tidak menyukai dirinya sebagai akibat dari adanya dendam pribadi. Oleh Sri Mulyani, Ical??panggilan akrab Aburizal Bakrie??dianggap tidak menyukai dirinya karena dulu tidak menyetujui dihentikannya untuk sementara penjualan saham Bumi Resources saat harga saham perusahaan milik keluarga Bakrie itu terjun bebas.

Karena Ical adalah Ketua Umum Partai Golkar, otomatis para anggota Panitia Hak Angket dari Partai Golkar akan juga balas dendam terhadap Sri Mulyani. Dibongkarnya rekaman pembicaraan antara Sri Mulyani dan pemilik Bank Century menambah daftar terkuaknya skandal Bank Century. Baik Sri Mulyani maupun politikus Partai Golkar berani menantang apakah rekaman itu benar-benar ada ataukah itu bagian dari ?pembunuhan karakter? terhadap Menteri Keuangan (Menkeu) yang baru saja mendapatkan Bung Hatta Award sebagai Menkeu yang profesional dan berdedikasi.

Kita tidak boleh memihak siapa yang benar dan siapa yang salah. Biarlah fakta nanti berbicara, siapa yang melakukan kebohongan publik, Menkeu Sri Mulyani Indrawati ataukah politisi dari Partai Golkar yang menjadi anggota Panitia Angket DPR. Nasib Wakil Presiden Boediono dan Menkeu Sri Mulyani juga dipertaruhkan terkait dengan kasus Bank Century ini. Tidak sedikit kalangan yang menginginkan agar kedua tokoh finansial Indonesia itu dicopot dari jabatannya atau dinonaktifkan.

Padahal untuk menonaktifkan seorang pejabat publik setingkat menteri atau wakil presiden belum ada aturan hukumnya kecuali bila kedua orang itu terbukti bersalah terkait dengan kasus skandal Bank Century. Selain nasib dua tokoh itu, orang juga masih membicarakan demonstrasi damai antikorupsi pada 9 Desember lalu. Ada yang mengatakan demonstrasi itu ditunggangi oleh motif-motif politik untuk menjatuhkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Motif politik itu tampak, kata mereka yang mengecamnya, karena gerakan itu tidak didukung oleh institusi yang selama ini aktif bergerak di ranah antikorupsi seperti Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Transparency International Indonesia. Gerakan antikorupsi bukanlah suatu gerakan yang eksklusif yang hanya boleh dilakukan oleh ICW dan Transparency International. Siapa pun boleh aktif di dalam gerakan Indonesia bersih tersebut.

Namun, adalah suatu kenyataan bahwa gerakan itu disabotase atau digembosi oleh Presiden SBY dengan pernyataan ?ada yang ingin menjatuhkan saya?. Ketakutan masyarakat akan terjadinya chaos pada demo tersebut mengakibatkan jalan-jalan di Jakarta dan pusat-pusat perbelanjaan di Jakarta terasa tidak seramai biasanya. Kelemahan utama dari gerakan itu, kalau boleh mengintrospeksi, tidak didukung oleh organisasi-organisasi intrakemahasiswaan seperti yang terjadi pada 1998.

Organisasi ekstrakemahasiswaan yang ikut juga kurang tampak gegap gempitanya. Di satu sisi harus kita akui bahwa ada kelemahan-kelemahan pengorganisasian pada gerakan itu sehingga tidak segegap gempita seperti yang diharapkan. Namun di sisi lain juga ada nilai positifnya, yaitu gerakan itu membuktikan bahwa mereka tidak memiliki motif politik untuk menjatuhkan Presiden secara inkonstitusional, melainkan hanya ingin membangun Indonesia yang bersih dari korupsi yang harus dimulai dari Istana Presiden.

Dalam beberapa minggu ke depan kita akan masih disuguhi tontonan politik yang dapat saja menarik, menjemukan atau bahkan menjijikkan. Namun jangan karena itu kita menjadi apolitis. Meski politik kita masih karut-marut, kita harus tetap memiliki kepedulian pada perpolitikan di Tanah Air. Jika kita sudah apatis atau sinis, ini adalah awal dari bahaya bagi masa depan demokrasi kita. Semua elemen masyarakat, terlebih lagi politisi, harus sadar, tanpa adanya partisipasi aktif masyarakat dalam politik, demokrasi kita akan mati suri! (*)

IKRAR NUSA BHAKTI
Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs LIPI

Opini Okezone 15 Desember 2009