25 November 2009

» Home » Republika » Solidaritas Idul Adha

Solidaritas Idul Adha

H Shobahussurur MA
(Ketua Masjid Agung Al-Azhar)

''Sesungguhnya, Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka, dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah. Sesungguhnya, orang-orang yang membenci kamu Dialah yang terputus (dari rahmat Allah).'' (QS AlKautsar [108]: 1-3).
Setiap tahun, Idul Adha dirayakan. Sebagian kaum Muslim merayakannya dalam rangkaian ibadah haji di Tanah Suci Makkah. Sebagian yang lain merayakannya di negeri ini dengan rangkaian ritual shalat sunah dua rakaat di tanah lapang atau masjid.

Mereka berduyun-duyun menunaikan ibadah haji hingga kuota yang diberikan Pemerintah Arab Saudi kepada Indonesia habis, bahkan kurang. Yang berada di Tanah Air juga berduyun-duyun memadati tanah lapang dan masjid untuk melakukan shalat dan mendengarkan khotbah dengan khusyuk. Setelah shalat, mereka menyembelih binatang ternak, kambing, sapi, atau kerbau. Prosesi ritual itu dilakukan dalam rangka mengenang kembali nilai pengorbanan Khalil Allah, Ibrahim AS, dalam memperjuangkan kalimat tauhid dan menegakkan agama yang benar.

Gema takbir, tasbih, tahmid, dan tahlil dikumandangkan di manamana. Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar. La ilaha illallah, Allahu Akbar. Allahu Akbar wa lillahilhamd.

Ritual Idul Adha tidak dilakukan semata-mata sebagai sebuah rutinitas yang kosong tanpa nilai. Praktik ibadah haji, shalat Idul Adha, dan menyembelih binatang ternak tidak hanya dilaksanakan sesuai dengan syarat dan rukun.

Hal itu karena dalam Islam, ritual dimaksudkan sebagai riya'dhah (latihan) yang akan menghasilkan pengaruh bagi kehidupan pribadi, keluarga, dan masyarakat. Idul Adha ti-dak hanya dirayakan dan diperingati, tapi diharapkan agar kita dapat memetik makna yang lebih dalam guna memperkokoh aktivitas keberagamaan kita.

Setidaknya, ada dua dimensi yang dapat dimaknai dalam ritual Idul Adha, yaitu dimensi spiritual dan dimensi sosial. Pada dimensi spiritual, Idul Adha berfungsi memperkokoh tauhid, mempertebal iman, dan meningkatkan takwa kepada Allah SWT. Pada dimensi sosial, Idul Adha berfungsi meningkatkan solidaritas, mentradisikan diri untuk berbagi, dan memupuk rasa tolong-menolong.

Sayangnya, dalam kenyataan sosial, kita sering menjumpai umat Islam rajin menjalankan ibadah, tapi kejahatan dan kemaksiatan juga dilakukan. Sering terjadi paradoks yang begitu dalam antara ajaran ideal-normatif Islam dengan kenyataan kehidupan sosiohistoris kaum Muslim. Indonesia diakui sebagai negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia dengan ketaatan melakukan ritual yang tinggi. Ironisnya, Indonesia juga diakui sebagai salah satu negara paling korup di dunia.

Tauhid dan pengurbanan

Kalimat takbir, tasbih, tahmid, dan tahlil yang dikumandangkan berulang-ulang akan mempertebal iman kepada Allah SWT. Mengagungkan Allah dengan takbir akan meneguhkan diri bahwa tiada sesuatu yang dapat mengungguli Allah.

Tidak ada yang patut disembah, melainkan Allah. Semua adalah makhluk-Nya yang tidak layak untuk dipuja. Semua problem akan mampu dihadapi karena kebesaran Allah. Dalam tasbih, tahmid, dan tahlil, keimanan dan ketundukan kepada Allah ditingkatkan, dibuktikan, dan diwujudkan. Dialah Allah, Pencipta sekalian alam, Tuhan Yang Maha Esa. Iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in (hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami meminta tolong) (QS Alfatihah [1]: 5).

Al-Islam (ketundukan dan kepasrahan) diikuti dengan al-iman (keimanan dalam hati), kemudian di atas fondasi iman itu dibangun alshalihat (kesalihan pribadi dan sosial), dilaksanakan dengan al-ikhlash (ketulusan yang murni) dalam sebuah kesetiaan yang berujung pada al-mahabbah (rasa cinta) yang mendalam kepada Allah. Cinta kita kepada Allah membangkitkan kesadaran loyalitas kepada-Nya. Semakin besar rasa cinta kepada Allah, semakin besar loyalitas dan kesetiaan kepada-Nya.

Salah satu wujud loyalitas itu adalah kesediaan untuk berkurban. Umat Islam dituntut mewujudkannya dalam berbagai bentuk pengurbanan dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi.

Semakin tinggi pengurbanan kepada Allah, semakin tinggi nilai loyalitas kepada-Nya. Sebaliknya, semakin rendah pengurbanan kepada-Nya, semakin rendah pula nilai loyalitas kepada-Nya.

Pengurbanan merupakan salah satu tolok ukur kualitas iman dan takwa kepada Allah. Pengurbanan yang rendah, tidak berkualitas, dan dilakukan dengan setengah-setengah dan asal-asalan menunjukkan rendahnya kualitas iman. Tapi, pengurbanan yang tinggi, berkualitas, dan di-lakukan dengan sungguhsungguh menunjukkan tingginya kualitas keimanan seseorang.

Berkurban sebuah keharusan

Tidak ada cita-cita tanpa pengurbanan. Semakin besar pengurbanan, semakin besar kemungkinan citacita itu dapat diraih.

Begitu pula kiranya makna simbolik perintah Allah kepada Nabi Ibrahim AS untuk mengurbankan putra tercintanya, Ismail. Pengurbanan yang tinggi kepada Allah mengalahkan segala bentuk egoisme. Nabi Ibrahim berhasil meraih citacita yang meneguhkan kalimat tauhid, meneguhkan al-din al-hanif (agama yang lurus), dan menyejahterakan manusia lahir dan batin.

Hakikat kurban bukan pada benda yang diberikan, tapi pada keikhlasan dan kepasrahan. Allah tidak menerima materi kurban yang kita persembahkan.

Nilai kurban bukan pada besar kecil barang yang dikurbankan, bukan pada materi kurban, tapi pada tingkat takwa yang dimiliki oleh orang yang berkurban.

Dalam simbolik kurban, Allah mengajari bagaimana seharusnya proses kurban itu dilakukan. Pertama, memilih binatang sembelihan yang terbaik, misalnya unta yang sehat dan gemuk, sapi, atau kambing. Kedua, memulai menyembelih dengan banyak menyebut nama Allah agar keikhlasan tertanam ke dalam jiwa. Kemudian, mengasah pisau untuk menyembelih agar tidak menyakiti binatang yang disembelih.

Bila kurban itu dalam syariatnya dilambangkan dalam bentuk menyembelih binatang ternak, seperti kambing, sapi, kerbau, atau unta; kurban itu seharusnya dikembangkan dalam pengertian yang lebih luas. Kurban tidak hanya dengan menyembelih binatang ternak dan tidak hanya dilakukan pada waktu Idul Adha.

Umat Islam dituntut untuk melatih diri agar mengurbankan apa saja yang dimiliki dalam rangka cinta dan kesetiaan kepada Allah guna membangun kepentingan agama, meningkatkan solidaritas umat, memperbaiki kehidupan sosial kemasyarakatan, dan menciptakan kesejahteraan seluruh manusia.

Opini Republika 26 November 2009