25 November 2009

» Home » Kompas » Kaum Kaya dan Pendidikan Nasional

Kaum Kaya dan Pendidikan Nasional

Dalam republik yang demokratis, sebagaimana Indonesia mengklaim diri, kewarganegaraan adalah konsep yang sakral.
Warga negara adalah alasan keberadaan negara; paradigma pengelolaan negara berpusat pada warga negara. Konstitusi negara pun dibangun seluruhnya untuk kepentingan warga negara. Semua ini harus tecermin dalam investasi negara untuk warga negara. Salah satu investasi negara yang amat, mungkin paling, penting adalah pendidikan.


Dalam National Summit, akhir Oktober lalu, pendidikan mendapat perhatian amat besar. Spektrum masalah yang muncul amat luas. Namun, isu paling krusial di bidang ini justru tidak mengemuka, yaitu betapa pendidikan nasional kita kenyataannya diskriminatif terhadap kelompok paling miskin. Meski tidak intensional, diskriminasi ini sistemik dan dampak negatifnya terhadap masa depan bangsa luar biasa besar.
Ajang rebutan orang kaya
Statistik pendidikan Indonesia penuh dengan angka-angka yang seharusnya membuat kita tidak dapat tidur nyenyak. Dari data cohort 1986-2006, bila kita ikuti mereka yang masuk kelas I SD di Indonesia secara longitudinal, maka rata-rata pada tahun keenam yang tidak lulus SD sekitar 27 persen dan pada tahun kesembilan yang tidak lulus SMP 55,8 persen. Sementara itu, pada tahun ke-12 yang tidak lulus SMA adalah 75,5 persen (ESR World Bank, 2007).
Angka putus sekolah yang begitu tinggi ini terutama ditentukan oleh faktor ekonomi keluarga. Data berikut memastikan hal itu: hanya 7,0 persen lulusan sekolah menengah yang berasal dari 20 persen kelompok termiskin; sedangkan di tingkat universitas hanya ada sekitar 1,0 persen mahasiswa dari kelompok miskin. Sebaliknya, sekitar 70 persen mahasiswa berasal dari 20 persen kelompok terkaya.
Gambaran Indonesia
Berdasarkan perhitungan unit biaya konservatif (yang jauh dari kebutuhan pelaksanaan pendidikan prima) yang dilakukan Kelompok Kerja Pendidikan Gratis di empat kabupaten di DI Yogyakarta tahun 2007 diketahui, dari semua biaya operasional yang dikeluarkan, masyarakat masih menanggung sekitar 52 persen untuk SD/madrasah ibtidaiyah dan 47 persen untuk SMP.
Dengan kata lain, dana biaya operasional sekolah masih jauh dari mencukupi. Lebih dari itu, setiap orangtua pasti tahu menyekolahkan anak memerlukan biaya lebih dari sekadar sumbangan terhadap biaya operasional sekolah.
Angka dari DIY ini cukup menggambarkan apa yang berlangsung di Indonesia secara umum. Bagi warga negara dari kelompok miskin, beban ini sungguh tak tertanggungkan. Lebih dari itu, sistem pendidikan kita yang membuat kualitas sekolah berlapis-lapis lebih memastikan lagi bahwa anak dari kelompok miskin hanya akan dapat bersekolah sampai jenjang SMP dan paling jauh SMA. Banyak biaya diperlukan untuk dapat duduk di bangku sekolah yang baik, dari biaya bimbingan belajar untuk dapat nilai tinggi dan dapat lolos tes sampai dengan biaya-biaya untuk dan setelah diterima.
Menjadi kenyataan yang amat menyedihkan, oleh karena ketiadaan biaya, anak-anak dari kelompok miskin akan terus berguguran di jenjang SD, SMP, dan SMA, tanpa pernah ada kesempatan untuk sampai di perguruan tinggi. Bukan karena mereka tidak mampu secara akademik, tetapi karena mereka tidak mampu membeli kesempatan itu. Sistem pendidikan nasional kita telah menjadi ajang rebutan orang kaya.
Mimpi buruk Bung Karno
Di ajang rebutan orang kaya, anak miskin yang menjadi korban menumpuk amat tinggi. Dampak yang segera terlihat adalah kian sempitnya kemungkinan mobilitas ke atas melalui jalur pendidikan bagi mereka. Selanjutnya, kelompok ini tidak akan mampu mengangkat diri sendiri keluar dari kemiskinan.
Kondisi itu memiliki dampak jangka panjang yang amat luas terhadap survival bangsa ini secara keseluruhan. Kita bisa membayangkan berapa talenta yang mati hanya karena keluarga mereka tak mampu menanggung beban biaya pendidikan.
Tokoh Lintang dalam film/buku Laskar Pelangi adalah personifikasi yang baik dari masalah ini. Lintang yang genius harus puas menjadi pengemudi truk karena kemiskinan keluarganya. Lintang bukanlah kasus yang terisolir. Lintang adalah fenomena umum di Indonesia.
Dengan segala upaya dari semua pihak, kecenderungan diskriminatif ini harus berubah. Bila tidak, lupakan saja impian untuk menjadi pemain dalam persaingan global antarbangsa. Sebaliknya, apa yang dikhawatirkan Bung Karno akan terjadi: kita akan menjadi ”bangsa kuli dan kuli di antara bangsa-bangsa”.
Gejala ke arah sana sudah ada. Indonesia adalah salah satu eksportir buruh dan pembantu rumah tangga terbesar; tenaga kerja Indonesia saat ini sudah menjadi salah satu sumber devisa utama.
Membalik arus diskriminasi terhadap kelompok miskin dalam pendidikan nasional kita harus menjadi salah satu key performance indicator dari Mendiknas. Selain alokasi dana yang adekuat, penghematan sistemik, program yang cerdas, dan tata kelola yang baik di jajaran Diknas, diperlukan untuk mencapainya.

A Malik Gismar Anggota Staf pada Partnership/Kemitraan untuk Pembaruan Tata Kelola Pemerintahan
Opini Kompas 26 November 2009