04 Oktober 2009

» Home » Republika » Perppu dan Penyelamatan KPK

Perppu dan Penyelamatan KPK

Sekalipun mendapat penolakan, Presiden pada akhirnya menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No 4 Tahun 2009. Perppu yang ditandatangani pada 21 September 2009, menambahkan 2 pasal dalam UU No 30/2002 tentang KPK, yang memberi kewenangan kepada presiden untuk mengangkat anggota sementara KPK jika pimpinan KPK berjumlah kurang dari tiga orang.
Alasannya sebagaimana dalam konsiderans, terjadinya kekosongan pimpinan KPK telah mengganggu kinerja dan dapat berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum, dalam upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi oleh KPK. Sedangkan untuk pengisian kekosongan tersebut, diperlukan waktu yang cukup lama.

Terbitnya perppu menyusul setelah ditetapkannya tiga orang pimpinan KPK oleh kepolisian sebagai tersangka. Mereka adalah Ketua KPK, Antasari Azhar, serta Wakil Ketua KPK, Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah. Berdasarkan status tersebut, ketiganya telah dinonaktifkan oleh Presiden.

Dalam beberapa kesempatan, pemerintah menyampaikan, perppu ditujukan untuk mengefektifkan kembali KPK. Dengan kata lain, sebagai langkah penyelamatan KPK. Benarkah demikian, atau justru malah sebaliknya menjadi bagian dari pelemahan KPK?

Cacat perppu
Perppu secara konstitusional memang dimungkinkan sebagai hak yang diberikan kepada presiden. Pasal 22 UUD 1945 menentukan dalam hal 'kegentingan yang memaksa', presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang. Selanjutnya, perppu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan berikutnya. Jika tidak mendapat persetujuan, perppu itu harus dicabut.

Jadi lahirnya perppu mesti berdasarkan adanya hal kegentingan yang memaksa. Dalam putusan MK tentang pengujian UU Kehutanan dinyatakan, ikhwal kegentingan memaksa itu merupakan hak subjektif presiden yang akan menjadi objektif jika disetujui oleh DPR untuk ditetapkan sebagai undang-undang. Dalam putusan tersebut, MK juga meminta, meskipun perppu hak subjektif presiden, alasan-alasan yang menjadi pertimbangan Presiden untuk mengeluarkan perppu di masa yang akan datang agar lebih didasarkan pada keadaan yang objektif.

Bagaimana Presiden dapat menunjukkan syarat adanya kegentingan yang memaksa secara objektif, apalagi jika menyangkut urusan lembaga lain? Presiden perlu melihat dan mendengar adanya permintaan atau usulan dari lembaga yang bersangkutan. Sebagaimana pernah terjadi sebelumnya, Perppu No 1/2005 tentang Penangguhan Pemberlakuan UU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, dikeluarkan Presiden setelah mendengarkan permintaan dari MA. Demikian halnya, dengan sejumlah perppu yang terkait soal Pemilu (2004 & 2009), dikeluarkan Presiden setelah mendapatkan usulan dari KPU.

Dengan begitu, penilaian Presiden yang mendasari keluarnya perppu dapat menjadi lebih objektif. Presiden pun dapat terhindar dari kemungkinan intervensi terhadap lembaga lain, yang independensinya memang harus selalu dijaga. Termasuk, terhindar dari kemungkinan terjadinya personalisasi kekuasaan.

Namun, tidak demikian dengan keluarnya perppu tentang KPK. Tidak ada usulan atau permintaan dari KPK, tiba-tiba Presiden merasa perlu mengeluarkan perppu untuk melegitimasi penunjukkan tiga orang pimpinan sementara KPK. Sebaliknya, Presiden merasa tidak perlu mengundang atau mendengar pimpinan KPK yang masih aktif.

Presiden berpendirian, telah terjadi kekosongan yang dapat mengganggu kinerja dan berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum. Namun, pendirian tersebut tidak cukup beralasan. Faktanya, KPK masih dapat bekerja. Sedangkan kekhawatiran menimbulkan ketidakpastian hukum, bukanlah menjadi urusan Presiden, tapi menjadi urusan proses hukum yang menentukan.

Terbitnya perppu ini seolah mengabaikan penetapan dua pimpinan KPK, Bibit dan Chandra, sebagai tersangka yang penuh kontroversi. Berbeda dengan penetapan Antasari sebagai tersangka kasus pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran, Nasrudin Zulkarnaen, penetapan status tersangka Bibit dan Chandra oleh kepolisian, seakan dipaksakan. Keduanya disangka melakukan kesalahan prosedur pelaksanaan wewenang pencekalan yang dimiliki KPK. Sesuatu yang sesungguhnya berada di luar otoritas kepolisian.

Tindakan kepolisian itu tentunya menimbulkan kecurigaan publik. Kepolisian seakan melakukan langkah sistematis dengan mengkriminalisasi pimpinan KPK tanpa bukti yang cukup kuat. Sayangnya tindakan tersebut, seolah mendapatkan pembenaran Presiden dengan terbitnya perppu.

Substantif perppu juga patut dipertanyakan. Mengapa 'kekosongan' pimpinan KPK ditentukan harus menunggu kurang dari tiga orang? Sehingga, Presiden berwenang menunjuk tiga orang anggota sementara pimpinan KPK. Jika komposisi tiga orang pilihan Presiden dan dua anggota independen, suara tentu akan selalu berpihak pada Presiden. KPK pun menjadi komisi eksekutif bukan komisi independen. Ini mencederai prinsip kemandirian atau independensi KPK.

Spirit independensi itu juga ditiadakan dalam hal rekruitmen pimpinan KPK. Sebagaimana ciri lembaga independen, dalam menentukan anggota/pimpinannya tidak didominasi satu lembaga, tapi sharing power antara eksekutif dan legislatif. Perppu telah menghilangkan hak DPR untuk melakukan seleksi, fit and proper test, hingga penentuan siapa yang layak dipilih. Termasuk dalam hal ini, menghilangkan penentuan ketua KPK oleh DPR.

Dengan demikian, perppu cacat secara prosedural dan substantif. Tidak cukup alasan-alasan objektif yang menunjukkan adanya kegentingan memaksa. Prasyarat itu tidak terpenuhi sehingga perppu tidak layak untuk diterbitkan. Substansinya malah akan memperlemah independensi dan peranan KPK dalam upaya pemberantasan korupsi.

Jauh sebelumnya, Presiden sempat menyatakan keheranannya terhadap KPK yang dianggap sebagai lembaga 'super body'. Tersirat ada keinginan Presiden untuk mengontrol KPK. Keinginan tersebut seakan mewujud dengan lahirnya Perppu KPK, yang membuka kesempatan bagi Presiden untuk intervensi.

Seolah yakin dengan caranya, pascaterbitnya perppu, Presiden membentuk Tim Perumus yang akan merekomendasikan tiga nama pejabat sementara pimpinan KPK kepada Presiden untuk ditetapkan. DPR di-fait accompli untuk menerima keadaan, padahal perppu belum sempurna keabsahan sebelum diajukan dan disetujui parlemen.

Jika perppu ditolak, sedangkan Presiden telanjur melantik tiga pimpinan sementara KPK terpilih, otomatis mereka harus diberhentikan. Implikasinya akan ada persoalan legitimasi terhadap kasus-kasus yang sudah ditangani dan diajukan ke pengadilan, dan itu bisa menimbulkan ketidakpastian hukum.

Save our KPK
Tentu kita masih bisa berharap sebelum semuanya menjadi terlam. Oleh karena itu, yang diperlukan adalah upaya sistematis dan komprehensif dari Presiden untuk me nyelamat kan KPK, juga Peng adilan Tipikor.

Pertama, mencabut pemberlakukan Perppu No 4/2009. Jika tidak, Presiden dapat menunda pemberlakuan perppu sampai ada persetujuan DPR, dan kejelasan dari upaya hukum berupa sengketa kewenangan dan judicial review yang dilakukan KPK ke MK.

Kedua, meminta kepolisian untuk mempercepat dan memperjelas proses hukum terhadap Bibit dan Chandra. Ketiga, meninjau kembali pembahasan RUU Pengadilan Tipikor jika ada keinginan kuat menghapus kewenangan KPK dan mengancam eksistensi Pengadilan Tipikor.


Opini Republika 5 Oktober 2009
Firmansyah Arifin
(Ketua Badan Pengurus KRHN)