28 September 2009

» Home » Media Indonesia » Tantangan Kabinet Ekonomi SBY Menjaga Stabilitas Rupiah

Tantangan Kabinet Ekonomi SBY Menjaga Stabilitas Rupiah

Sebentar lagi Indonesia akan memiliki kabinet baru. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akan segera memulai lima tahun keduanya, sekaligus menurut peraturan, masa terakhir kepemimpinannya. Belajar dari sejarah, bila para pemimpin ingin kebaikannya terus dikenang, ia harus meninggalkan prestasi, justru di akhir masa jabatan. Mungkin ungkapan yang tepat adalah happy ending.

Ekonomi Indonesia berjalan cukup stabil pada periode lima tahun pertama SBY, bahkan mampu tumbuh positif di saat ekonomi dunia mengalami krisis. Prestasi baik di 2004-2009 dan perlunya menjaga 'nama' di lima tahun terakhir, bisa jadi merupakan alasan SBY untuk tetap memilih ekonom profesional yang lepas dari lobi-lobi politik, termasuk ketika memilih wakil presiden. Kini tantangan terberat pertama yang harus 'dijawab' oleh tim ekonomi SBY adalah menjaga stabilitas nilai tukar rupiah di tengah lesunya ekonomi dunia.

Pentingnya stabilitas nilai tukar
Nilai tukar merupakan hulu ekonomi makro (MacDonald, Ronald, Exchange Rate Economics, 2007). Bila ia bermasalah, secara makro, ekonomi negara akan rusak. Kita bisa merasakan sendiri ketika krisis ekonomi melanda Asia, medio 1997. Krisis ini diawali oleh depresiasi nilai tukar beberapa negara Asia terhadap US$, termasuk rupiah. Depresiasi rupiah yang besar membuat kondisi makroekonomi Indonesia memburuk. Pertumbuhan ekonomi negatif 13%, laju inflasi (CPI) naik 58,5%, laju inflasi makanan (FPI) naik 81,3% dan rata-rata suku bunga naik lebih dari tiga kali lipat. Ketika itu, semua barang menjadi serbamahal, terutama impor. Ironisnya, penyesuaian pendapatan masyarakat tidak bisa berjalan cepat karena pelemahan nilai tukar disebabkan oleh keluarnya modal asing, baik derivatif maupun investasi riil. Keterbatasan modal justru membuat proses produksi berhenti, perusahaan tutup dan karyawan kehilangan lapangan kerja. Justru bukan gaji yang naik, melainkan malah kehilangan pekerjaan. Kuantitas konsumsi menurun akibat naiknya angka pengangguran. Tingkat pengangguran (unemployment rate) naik dari 4,7% (1997) menjadi 5,5% (1998) bahkan terus naik hingga 9,9% (2004). Secara makro, konsumsi yang merupakan sumber terbesar pembentukan PDB Indonesia (sekitar 67,8%) mengalami penurunan tajam, sekitar negatif 6,2%. Indikator lain yang menunjukkan konsumsi menjadi semakin mahal adalah peningkatan jumlah uang beredar. Bila pada 1997 jumlah uang beredar (M1) hanya Rp78,3 triliun, pada 1998 naik signifikan menjadi Rp101,2 triliun. Rupiah semakin tidak berharga.

Sedemikian pentingnya kestabilan nilai tukar bagi sebuah negara sehingga Indonesia pun mengamanatkan UU No 3/2004 Pasal 7 Ayat 1 kepada Bank Indonesia (BI) untuk 'mencapai dan memelihara kestabilan rupiah'. Namun, keliru besar secara ekonomi, bila nilai tukar hanya dilihat sebagai tugas BI, seolah-olah hanya bank sentral yang mampu menjaga stabilitas tersebut. Di dalam jangka pendek, mungkin fungsi BI menjadi utama, namun dalam jangka menengah dan panjang, nilai tukar hanya sebuah indikator, titik kestabilannya justru terletak pada daya saing Indonesia dalam menghasilkan devisa.

Tantangan kabinet ekonomi SBY
Mata uang asing seperti euro, US$, yen tidak boleh dicetak oleh Indonesia, sementara kita membutuhkannya untuk membayar transaksi impor dan menjaga kestabilan rupiah. Produktivitas dan keunggulan dalam bersaing di dunia internasional adalah kata kunci untuk menghasilkan mata uang asing tersebut. Kabinet ekonomi SBY mendatang harus mampu menjawab tantangan ini.

Tugas para menteri ekonomi kabinet SBY tidak bisa dianggap mudah terutama karena ekonomi dunia masih dalam kondisi pemulihan. Upaya meningkatkan daya saing Indonesia adalah pekerjaan lintas sektor sehingga melibatkan banyak departemen termasuk urusan TKI dan UMKM. Namun bila diambil prioritas, peran vital untuk mempertahankan stabilitas nilai tukar terletak setidaknya pada tiga sumber utama devisa; perdagangan, perindustrian, dan penanaman modal. Di beberapa negara maju, dua atau bahkan tiga bidang tersebut berada dalam satu kementerian. Di Indonesia, ketiga bidang tersebut berada dalam kementerian yang berbeda-beda. Mengingat pentingnya kebijakan yang komprehensif dan saling mendukung di ketiga bidang tersebut, koordinasi dan harmonisasi kebijakan adalah sesuatu yang 'harus'. Apa contoh tantangan yang harus dijawab secara bersamaan oleh ketiga kementerian tersebut?
Pertama, perdagangan internasional. Berdasarkan hasil hitungan penulis untuk daya saing (RCA index) dan kemampuan membaca arah pasar (CMSA index) diketahui bahwa ekspor Indonesia masih mengandalkan hasil alam mentah seperti nikel, tembaga, timah, karet dan sawit. Dua di antaranya memiliki sebaran pasar (G-H Index) yang tidak begitu baik yaitu nikel (99% diekspor ke Jepang) dan timah (75% diekspor ke Singapura). Ekspor hasil alam dinilai riskan karena (1) cenderung tidak berkesinambungan karena depletif (habis pakai) dan degradatif (mengurangi kelestarian lingkungan). (2) Nilai tambahnya relatif rendah terutama bila yang diekspor adalah bahan mentah. (3) Hampir 75% nilai tambah ekspor dunia dihasilkan oleh industri manufaktur. Bila ingin maju, Indonesia harus bermain di pasar tersebut. Di sinilah pentingnya kerja sama Departemen Perindustrian dan Departemen Perdagangan sehingga kita bisa menghasilkan komoditi ekspor berbasis industri (export led industrialization).

Industri. Hasil perhitungan penulis untuk export oriented & labor intensive industry index, ditemukan bahwa Indonesia masih mengandalkan ekspor hasil pertanian, pertambangan, makanan olahan, tekstil dan alas kaki. Satu hal yang menggembirakan bahwa pada periode 2004-2008, Indonesia ternyata unggul pada industri otomotif. Namun bila dilihat lebih detail (SITC-4) tampak bahwa keunggulan ekspor otomotif Indonesia masih pada komponen yang bernilai tambah relatif rendah seperti bodi sepeda motor, sepeda dan kontainer, belum pada mesin, komponen atau kendaraan roda empat yang bernilai tambah tinggi. Kurang kompetitifnya industri nasional juga terlihat dari indeks saham sektor industri. Sektor tersebut hanya mampu menyerap 12% dari total nilai perdagangan saham (2003-2008). Pembeli saham memang lebih menyukai saham yang berorientasi ekspor atau memiliki monopoli atas pasar domestik. Investor saham di Indonesia paham betul bahwa industri nasional kurang kompetitif di dunia dan tidak terlalu menguasai pasar dalam negeri.

Kedua, investasi. Kendati industri nasional masih relatif 'tertinggal', nilai investasi baik PMA (penanaman modal asing) maupun PMDN (penanaman modal dalam negeri) di sektor ini masih tetap tinggi. Pada periode 1998-2003, sektor industri menyerap 69% dari total PMA dan 85% dari total PMDN. Untuk meningkatkan investasi masuk, Indonesia memiliki badan setingkat kementerian, yaitu BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal). Tugas badan ini sebaiknya tidak hanya meningkatkan PMA dan PMDN, tetapi juga mendukung sektor industri untuk unggul dalam perdagangan internasional.

PMA tidak selamanya baik bila tidak terjadi transfer pengetahuan dan keahlian dari asing ke produsen/pekerja lokal. PMA dalam jangka pendek memang memasukkan modal asing ke Indonesia, tetapi dalam jangka panjang ia akan menyedot pendapatan investasi (investment income) dan meningkatkan impor. Umumnya investor asing akan mengimpor bahan mentah atau komponen produksi dari negara mereka sendiri. Mungkin itulah sebabnya Korea Selatan dan Taiwan ketika awal mengembangkan ekspor nonmigas lebih memilih membeli paten produksi atau meminjam uang asing, sementara proses produksi dilakukan sendiri oleh produsen lokal. Agar kehadiran PMA di Indonesia tidak semakin memperlemah nilai tukar rupiah, PMA harus berorientasi ekspor.

Penutup
Bila penjelasan perdagangan internasional, industri dan investasi digabung, akan terdapat premis bahwa 'produsen industri manufaktur, baik lokal (PMDN) maupun asing (PMA) harus berorientasi ekspor'. Dengan logika ini baik Menteri Perdagangan, Menteri Perindustrian, maupun Kepala BKPM sudah punya satu misi: meningkatkan daya saing industri manufaktur nasional di pentas dunia. Untuk itu diperlukan kerja sama harmonis di antara ketiga kementerian tersebut. Tantangan itu memang tidak mudah, tetapi bila berhasil, nilai tukar rupiah dan makroekonomi Indonesia akan stabil. Saham industri nasional akan semakin diminati investor. Indonesia berpeluang menjadi salah satu negara industri manufaktur dunia. Mampukah? Bila mampu, SBY akan meninggalkan prestasi ekonomi yang membanggakan dan akan dikenang baik sepanjang sejarah.

Opini Media Indonesia 29 September 2009
Oleh Kiki Verico
Mahasiswa di PhD Program of GSAPS - Waseda University Tokyo & dosen FE UI