09 November 2010

» Home » Media Indonesia » Penyakit Ekonomi dalam Liberalisasi

Penyakit Ekonomi dalam Liberalisasi

Media Indonesia-Rabu, 30 April 2008 07:32 WIB

DUA puluh satu tahun lalu, tepatnya 12 September 1986 setelah Indonesia mendevaluasi rupiah dari Rp1.354 menjadi Rp1.644 atau melemah 21,4%, Kabinet Pembangunan IV kembali melanjutkan kebijakan deregulasi dan debirokratisasi.

Berbagai hambatan masuk (entry barier), barang impor dihapuskan, bahkan peranan Bea dan Cukai diswastakan ke pihak asing. Itu sebenarnya kebijakan liberalisasi perdagangan. Istilah deregulasi dan debirokratisasi itu sendiri merupakan tuntutan agar pemerintah mengurangi campur tangan dalam perekonomian.

Biarkan pasar bekerja menyediakan barang dan jasa yang diperlukan masyarakat. Di sisi lain, pasar dipasok oleh swasta asing atau domestik. Media massa mengunyah isu itu dengan memberitakan panjangnya birokrasi layanan publik dalam perizinan, banyak dan panjangnya meja dalam pengambilan keputusan, serta kuatnya peranan pemerintah sendiri dalam penyediaan barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat telah membuat harga-harga menjadi mahal dan pasar terdistorsi.

Karena situasi politik otoriter, DPR, dan parpol adalah perpanjangan tangan penguasa, kebijakan ekonomi yang sesungguhnya menyimpang dari amanat konstitusi itu berjalan tanpa hambatan. Lancarnya kebijakan liberal itu, walau disebut setengah hati, juga tampak pada terbitnya Paket Kebijakan Oktober 1988 yang mengizinkan para pedagang kelontong mendirikan bank. Padahal kebijakan meliberalkan investasi asing dan leluasanya asing menghisap sumber daya pertambangan telah membuahkan devaluasi sejak 1971, 1978, 1983, dan 1986.

Pada 1991, setelah perbankan tumbuh bagaikan jamur di musim hujan dari 111 bank menjadi 239 bank, perekonomian kembali memanas, ditandai dengan tekanan inflasi. Walaupun tidak mendevaluasi, pemerintah menginstruksikan agar BUMN yang saat itu mendominasi kontribusi pada produk domestik bruto (PDB) memarkirkan dananya di perbankan. Tujuannya agar tidak terlalu banyak uang beredar.

Selain inflasi, tekanan defisit transaksi berjalan pun terus meningkat mencapai US$4,354 miliar dan nilai tukar per US$1 menjadi Rp1.890. Angka itu menunjukkan liberalisasi investasi, perdagangan, dan industri telah gagal mengatasi kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan. Sebaliknya Presiden Soeharto dengan dukungan Tim Ekonomi Mafia Berkeley berkeyakinan dengan menjadikan konglomerasi sebagai lokomotif pertumbuhan ekonomi, tiga penyakit ekonomi klasik itu teratasi.

Kritik atas pembangunan ekonomi berbasis utang luar negeri dan liberalisasi perdagangan telah muncul sejak awal 1970-an. Devaluasi sebagai penyakit kambuhan ekonomi adalah bukti kegagalan kebijakan sekaligus menunjukkan tingginya tekanan neraca pembayaran. Marion Fourcade dan Sarah L Babb yang menulis dengan pendekatan sosiologi pada ekonomi neoliberal berhasil membuktikan tekanan neraca pembayaran karena kebijakan ekonomi neoliberal di Cile, Meksiko, Prancis, dan Inggris menghasilkan konflik sosial (American Journal Sociology vol 108 No 3, November 2002). Menurut mereka, tinggi rendahnya konflik sosial karena kebijakan ekonomi neoliberal itu bergantung pada seberapa jauh negara mengalokasikan anggaran untuk mengatasi tiga penyakit ekonomi klasik.

Di Indonesia, konflik sosial mulai tampak ketika isu kesenjangan sosial ekonomi menjadi bahan berita paling menarik sejak 1983. Sebelumnya, muncul peristiwa Malari 1974 sebagai wujud protes atas ketergantungan Indonesia pada Jepang. Sejak Juni 1983 yang ditandai dengan bebasnya suku bunga tabungan Tabanas dan Taska, Emil Salim dan kawan-kawan sibuk menjawab kritik utang luar negeri itu. Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, BJ Sumarlin, dan Emil Salim sebagai arsitektur perekonomian Indonesia mengatakan utang luar negeri tidak menciptakan ketergantungan, tapi saling ketergantungan. Almarhum Soemitro Djojohadikusumo, begawan ekonomi Indonesia, bahkan menyebutkan tidak ada negara yang bangkrut karena utang luar negeri. Dalam bahasa yang lain, pemberlakuan ekonomi pasar, liberalisasi perekonomian, dan utang luar negeri merupakan satu mata rantai. Itulah konsensus Washington, suatu kebijakan yang lahir pada 1980 dengan muatan menihilkan peranan pemerintah dalam penyediaan barang dan jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak, liberalisasi investasi, perdagangan dan keuangan, serta privatisasi.

Penihilan peranan itu merupakan wujud sikap penolakan etatisme (negara mengatur dan menjalankan roda perekonomian) yang dituangkan dalam kebijakan membatasi defisit anggaran dalam jumlah di bawah 2% terhadap PDB. Hasil penerapan kebijakan itu adalah runtuhnya perekonomian Indonesia pada krisis moneter 1997/1998.

Sejalan dengan krisis Asia, sejumlah ekonom AS dan Eropa mengatakan runtuhnya perekonomian Korea Selatan, Thailand, dan Indonesia pada 1997/1998 karena struktur ekonomi yang rapuh sekaligus dampak berantai gejolak pasar uang regional dan moral hazard.

Jika hal itu penyebab krisis ekonomi moneter 10 tahun lalu, apa penyebab krisis 2007/2008? Secara resmi pemerintah menjawab, penyebabnya adalah krisis kredit perumahan AS (subprime mortgage), gejolak harga minyak, dan gejolak harga komoditas strategis karena permintaan yang meningkat.

Pertanyaan mendasarnya, kenapa pada krisis 1997/1998 Malaysia tidak terkena dan Thailand serta Korea Selatan yang juga didera krisis lebih cepat pulih jika dibandingkan dengan Indonesia? Dunia internasional mengakui, Malaysia tidak terkena krisis 1997/1998 karena menolak resep IMF, sedangkan Indonesia menyerahkan kedaulatan ekonominya kepada IMF melalui letter of intent sebagai tindak lanjut extended fund facility. Dalam krisis pangan sekarang pun, negara Asia yang terkena antara lain adalah Indonesia dan Filipina.

Situasi itulah yang mengingatkan saya saat Presiden Yudhoyono merekrut calon menteri pada Oktober 2004. Melihat siapa-siapa yang datang ke Cikeas, mahasiswa dan banyak kalangan menolak kaki tangan asing dan yang diindikasikan koruptor menjadi menteri. SBY merespons kritik itu dengan pendekatan prosedural. "Kita tidak boleh menuduh," katanya bijaksana meneduhkan suasana. Ternyata yang dipilihnya justru mereka yang hangat bersahabat dengan Barat.

Demikian juga saat reshuffle. Para fundamentalis mekanisme pasar dan penyanjung liberalisasi ekonomi, meminjam istilah Joseph Stiglitz, makin berjaya. Maka kebijakan yang menyengsarakan rakyat dan melanggengkan penyakit ekonomi klasik mewujud kembali dalam wajah demokrasi liberal. Hasilnya, seperti yang kita alami sekarang, krisis energi, krisis pangan, krisis keuangan, krisis infrastruktur dan aparatur, serta krisis fiskal.

Rasanya kita belajar sejarah, tapi tidak mencerna manfaatnya. Yang pasti, kebijakan ekonomi kita menjadi ahistoris dan terlepas dari perintah konstitusi. Di tengah Pemilu 2009 yang tinggal setahun lagi, muncul pertanyaan, adakah SBY berpeluang memperbaiki kebijakan para fundamentalis pasar yang berdampak tidak terpenuhinya janji kampanye 2004? Selama hayat dikandung badan, peluang selalu ada. Soalnya, adakah kemauan untuk itu?


Ditulis oleh : Ichsanuddin Noorsy, Tim Ahli Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM