26 Maret 2010

» Home » Lampung Post » NU, Gus Dur, dan Katalog Peradaban

NU, Gus Dur, dan Katalog Peradaban

Muhammadun A.S.
Peneliti Center for Pesantren and Democracy Studies (Cepdes) Jakarta
Di sela-sela perhelatan Muktamar Nahdlatul Ulama'(NU) yang ke-32 saat ini, terasa sekali ketiadaan sosok karismatik yang selama menjadi rujukan gerakan dan pemikiran di tubuh NU. Dialah K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Selama ini, Gus Dur selalu menjadi kunci gerakan dalam upaya dinamisasi di tubuh NU. Dialah yang melakukan gerakan modernisasi tanpa melukai tradisi. Dialah yang menyeimbangkan gerakan dan pemikiran antara generasi muda dan generasi sepuh. Di tangan Gus Dur, gerakan pembaruan di tubuh NU membuktikan kesuksesannya. Yang terjadi sekarang justru pergerakan dalam arena politik. Menjelang pemilihan rais aam dan ketua umum, wacana politik praktis bahkan money politics terasa menyengat dan membuat mendung dalam arena Muktamar.


Dalam suasana demikian, kehadiran Gus Dur sungguh amat dibutuhkan. Walaupun Gus Dur sudah tidak lagi datang, sosok Gus Dur mestinya bisa menjadi rujukan dan referensi kaum nahdliyin dalam membawa NU ke depan. Mari kita lihat sepak terjang Gus Dur sebagai teladan kaum muktamirin. Kala Gus Dur belum memimpin NU tahun 1984, warga nahdliyin masih dibabtis publik sebagai kelompok tradisional dengan berbagai stereotip negatif; kelompok ekslusif, tidak beranjak dari kitab-kitab mu'tabaroh, mengagungkan tradisi, mendaur ulang pemikiran lama, serta basis komunitasnya pesantren dan komunitas ndeso. Stereotip-stereotip tersebut akhirnya pudar ketika Abdurrahman Wahid (Gus Dur) naik tangga ketua umum PBNU dalam muktamar di Situbondo tahun 1984.
Sosok Gus Dur yang darah biru dan kritis mengubah seratus delapan puluh derajat pola pemikiran dan pola gerakan NU. Gagasannya yang cerdas nan bernas serta gerakan politiknya yang zig-zag membuat dirinya menjadi figur utama lahirnya perubahan di tubuh NU. Kaum NU yang tadinya dianggap ndeso dan jauh dari sinar peradaban, ternyata bangkit menjadi komunitas besar yang menjadikan tradisi sebagai basis gerakan kulturalnya. Dengan berpegang tradisi, komunitas NU justru semakin eksesif, unik, dan menohok berbagai gerakan modern. NU bangkit di tengah gerakan modern kehilangan basis tradisinya.
Sosok Gus Dur yang telah membangkitkan tradisi inilah kemudian yang melahirkan beragam pemikiran di lingkungan NU, khususnya kaum mudanya. Darah segar pemikiran yang mengalir dalam diri Gus Dur kemudian menjalar bagi kaum muda di bawahnya. Gagasan-gagasan segar kaum muda, walaupun sering mendapatkan petisi keras kaum tua, tetap saja berlangsung eskalatif menembus batas-batas pemikiran yang belum terjamah. Di bawah "perlindungan Gus Dur", kaum muda terus menggali tradisinya--sambil mengkritiknya--untuk menjawab berbagai persoalan kontemporer. Mereka melakukan dekonstruksi tradisi.
Menurut Ali Riyadi (2006) setidaknya ada tiga problem krusial yang menyebabkan kaum muda melakukan perubahan. Pertama, kejumudan berpikir. Masyarakat NU selama ini hanya melakukan al-muhafadhotu ala al-qodimi al-sholih, melestarikan tradisi yang relevan.
Kedua, kiprah NU dalam politik formal. Dalam berbagai kesempatan, NU selalu mengumandangkan politiknya sebagai politik kebangsaan. Politik yang memberikan kemaslahatan bagi seluruh warga bangsa. Bukan politik yang perorangan dan kelompok. Inilah manifesto kembalinya khitah NU 1926 di Situbondo tahun 1984. Tetapi realitas berbicara lain. Manifesto khitah ternyata banyak dibobol.
Ketiga, pengelolaan organisasi. NU belum mampu mengelola dirinya sebagai jamiyyah (organisasi). Seperti dalam pesantren, NU lebih mengandalkan karisma kiai tertentu. Program-program struktural dan kultural tidak jalan. NU secara struktural seolah gagap.
Di tengah problem tersebut kaum muda NU gelisah. Kaum muda di sini adalah mereka yang telah merasakan kuliah diberbagai perguruan tinggi, khususnya Institut Agama Islam Negeri (IAIN). Dengan mendapat bekal akademis, bekal manajerial dan teori kritik sosial, kaum muda melanjutkan kegelisahan Gus Dur dalam menata kembali tradisi yang berserakan.
Mereka mulai berkumpul, berdiskusi, dan merancang agenda-agenda pemberdayaan tradisi. Lahirlah Lakpesdam NU, P3M, Jaringan Islam Liberal (JIL) di Jakarta; LKiS dan LKPSM di Yogyakarta; dan Lembaga Kajian Sosial dan Agama (eLSA) di Surabaya; serta berbagai lingkar studi ke-Nu-an di berbagai tempat di Jawa.
Banjir pemikiran yang melanda republik NU menghentakkan banyak kalangan. Kaget sekaligus bangga. Kaum muda semenjak akhir 1980-an mempelopori gerakan pembaruan pemikiran keislaman. Mereka bangga menyebut namanya Post Tradisonalisme Islam. Kekayaan tradisi pemikiran yang ada ditubuh NU dijadikan sebagai landasan gerakan kritik sosial dan kritik pergerakan. Lambat laun mereka mengatasnamakan dirinya sebagai pelopor kaum liberal yang dimotori Ulil Abshar Abdalla dengan JIL-nya.
Walaupun sering kiai sepuh melancarkan kritik pedas, bahkan ada yang sampai dikafirkan, tetapi masih banyak kiai sepuh yang memberikan angin segar pemikiran kritis dan progresif di tubuh NU. Peran Gus Dur, Kiai Sahal, Said Aqil, dan para kiai progresif akan terus membuka pintu perubahan. Cuma, kaum muda NU ke depan harus melakukan terobosan-terobosan baru yang lebih menggigit akan spirit pembaruan tidak mengekor dengan gerakan Gus Dur, Kiai Sahal, Masdar, dan Ulil. NU memiliki khazanah tradisi yang melimpah, berarti masih banyak peluang yang dapat dimasuki kaum muda dalam meneguhkan kekuatan tradisinya.
Kini gus Dur telah tiada. Beliau merupakan katalog utama bagi kebangkitan peradaban NU. Warga NU harus berjuang kembali menegakkan peradaban yang telah ditinggalkan Gus Dur. Perjuangan Gus Dur belumlah usai. Saatnya kaum muda berinisiatif untuk melanjutkannya. n
Opini Lampung Post 27 Maret 2010