05 Maret 2010

» Home » Pikiran Rakyat » NU di Bawah Pak Hasyim

NU di Bawah Pak Hasyim

Oleh Iip D. Yahya

Setiap menjelang Muktamar NU, perhatian media selalu terpusat pada calon ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Ketua tanfiziah atau eksekutif ini lebih sering di-blow-up karena calon-calonnya lebih berani mendeklarasikan diri. Berbeda dengan calon rais aam syuriah PBNU, atau legislatif, yang lebih tertutup. Etika ulama mengharuskan seseorang tidak boleh memperlihatkan diri ingin dipilih, tetapi kalau diminta muktamirin ia tidak akan menolak. Namun, Muktamar NU XXXII di Makasar nanti menjadi spesial dengan munculnya wacana Pak Hasyim, sapaan akrab K.H. Hasyim Muzadi, menjadi kandidat rais aam.

Inilah pertama kalinya dalam sejarah NU, ketua tanfiziah diwacanakan untuk dicalonkan sebagai rais aam. Wacana ini juga fenomenal karena Pak Hasyim mantan ketua GP Ansor pertama yang akan menjadi kandidat rais aam. Nama lain yang sudah dimunculkan adalah K.H. Tolchah Hasan (wakil rais aam) dan K.H. Ma’ruf Amin (salah seorang rais syuriah). Dua nama ini akan ”digugat” soal kepemilikan pesantren. Dalam tradisi NU, seorang rais aam haruslah kiai yang memiliki pesantren dan mengasuh santrinya secara langsung. Hasyim tercatat sebagai pengasuh pesantren Al-Hikam di Malang dan Depok. Melihat realitas ini, ia menjadi kandidat kuat rais aam.



Sementara wacana pencalonan K.H. Mustafa Bisri atau Gus Mus, sekalipun dikabarkan mendapat restu Gus Dur sebelum wafatnya, masih harus menunggu kepastian. Kalau Gus Mus bersedia dan direstui keluarganya, tentu akan menjadi ”pesaing” yang kuat buat Hasyim. Selain mengasuh pesantren, Gus Mus adalah mustasyar PBNU.

Kepemimpinan Hasyim ditandai dengan lahirnya sejumlah pengurus cabang internasional di sejumlah negara. Lambang bola dunia yang diikat kendur (moderat) kini mendapatkan pembuktiannya. Sikap keberagamaan NU yang moderat itu berhasil dilebarkan sayapnya hingga ke mancanegara. Maka tak heran jika PBNU di bawah Hasyim ikut aktif dalam mendorong perdamaian di Timur Tengah.

Selain pembukaan cabang internasional, PBNU juga beberapa kali menyelenggarakan seminar skala internasional. Untuk kepentingan ini, dibentuk lembaga Internasional Conference of Islamic Scholars (ICIS). NU tidak hanya berwacana dari kampung ke kampung, tetapi juga menjangkau forum-forum internasional.  Peran signifikan ICIS ini dijelaskan Hasyim, ”Orang-orang Muslim Timur Tengah tidak bisa mendatangkan Barat, sementara Barat tidak pernah mendatangkan orang Timur Tengah. Akan tetapi melalui ICIS, semua bisa kumpul.” Namun Hasyim juga tak melupakan jasa pendahulunya. Secara rendah hati ia mengakui prestasi ini sebagai, ”Meneruskan langkah yang sudah dirintis oleh Gus Dur.”

Dengan capaian itu, layaklah disebut bahwa kepemimpinan Hasyim menorehkan prestasi intelektual. Nilai lebihnya, raihan itu dengan tetap mempertahankan jati diri NU, tanpa harus mentransfer gagasan dari luar untuk diakui dunia internasional. Justru dengan sikap moderat itulah, dengan kekuatan lokalitasnya, NU berhasil diakui dunia internasional. Prestasi ini selayaknya menjadi kebanggaan bagi Indonesia.

Di luar capaian intelektual, banyak pula prestasi politik selama kepemimpinan Hasyim. Para ketua NU di tingkat wilayah dan cabang tidak takut lagi berkompetisi di arena pilkada. Di Jabar misalnya, pengurus NU di tingkat cabang didorong oleh pengurus wilayah untuk maju sebagai kandidat kepala daerah. Ketua PWNU Jateng maju sebagai kandidat wagub, begitu pula di Jatim.

Catatan tersebut merupakan prestasi yang layak diapresiasi, karena tokoh-tokoh NU punya banyak pilihan untuk maju sebagai pejabat publik, bisa melalui partai atau melalui NU. Tanpa harus menjadikan jamiah sebagai parpol, tokoh-tokoh NU sudah bisa ”bermain”. Dengan menjadi pejabat publik, logikanya mereka bisa ikut aktif dalam penyusunan anggaran yang proumat.

Keberhasilan lain ditandai pula dengan terpilihnya tokoh NU wilayah menjadi anggota DPR atau DPD. Misalnya mantan Ketua PWNU Jatim menjadi anggota DPR dari PKB. Atau ketua PWNU Jabar yang menjadi anggota DPR dari partai yang sama, tetapi sampai sekarang masih merangkap ketua NU. Soal rangkap jabatan ini akan menjadi wacana menarik dalam muktamar di Makassar. Kalau ”maslahat” bagi organisasi dan umat, mengapa rangkap jabatan harus dilarang?

Hanya, pencalonan Hasyim ini mengindikasikan dua hal. Pertama, NU tidak lagi memiliki stok ulama yang mumpuni (defisit) dalam mengelola organisasinya sehingga pengurus tanfiziah harus mengisi kekosongan itu. Kedua, selama memimpin PBNU, kualitas keulamaan Hasyim dianggap mengalami peningkatan yang sangat signifikan sehingga dianggap layak untuk menjadi kandidat rais aam.

Tentu sangat menarik melihat konfigurasi NU ke depan, apakah akan kembali mengurusi pesantren dan menjadi kekuatan civil society seperti disuarakan tokoh-tokoh idealis, atau semakin politis dengan menggunakan NU untuk meraih jabatan-jabatan publik. Mana yang akan lebih maslahat bagi jamiah dan jamaah? Apakah kesuksesan sebagai ketua tanfiziah akan menjadi jaminan kesuksesan Hasyim sebagai rais aam? Menarik untuk ditunggu karena belum pernah ada preseden sebelumnya. Dan apakah Hasyim akan terpilih sebagai rais aam? Tentu akan terpulang kepada muktamirin. Wallahualam.***

Penulis, penulis buku ”Ajengan Cipasung Biografi K.H. Moh. Ilyas Ruhiat”.
Opini Pikiran Rakyat 06 Maret 2010