26 Februari 2010

» Home » Pikiran Rakyat » ”Muludan” di Priangan

”Muludan” di Priangan

Oleh Dede Syarif

Tanggal 26 Februari 2010 kemarin bertepatan dengan  12 Rabiul Awal 1431 Hijriah. Pada tanggal tersebut, empat belas abad silam, tepatnya 570 Masehi, Nabi Muhammad saw. dilahirkan. Dalam tarikh Islam (sejarah Islam), tahun kelahiran Nabi disebut Tahun Gajah. Nama tersebut berkaitan dengan peristiwa penyerangan Raja Abrahah yang menggunakan pasukan gajah untuk menghancurkan Kabah. Namun, niat pimpinan kafir Arab tersebut digagalkan pasukan burung Ababil yang menjatuhkan batu-batu panas sehingga pasukan gajah tadi mati terbakar. Pada saat genting seperti itulah, Nabi Muhammad dilahirkan. Demikian dikisahkan dalam kitab Khulashah Nuur al-Yaqin.



Dalam tradisi Muslim Sunda, Rabiul Awal disebut bulan Mulud. Setiap bulan ini tiba, masyarakat melaksanakan upacara untuk memperingati lahirnya Nabi, yaitu Muludan. Upacara ini dilakukan sebagai perhormatan terhadap Utusan Tuhan (Rasullullah) tersebut. Lebih dari itu, tradisi Muludan juga menjadi perwujudan ketaatan atas sunahnya.

Masyarakat Sunda dulu meyakini bulan Mulud sebagai bulan baik. Inohong Sunda, Hoofdjaksa R. Haji Hasan Mustapa menceritakan dalam Bab ”Adat-adat Urang Priangan djeung Soenda Lian ti Eta”. Dalam kosmologi urang Sunda waktu itu, bulan Mulud merupakan bulan penuh berkah. Dengan demikian, bulan ini sering digunakan untuk melangsungkan beberapa hajatan (maksud dan keinginan). Misalnya, manday (membuat) dan menguji kegunaan pakarang (senjata), seperti bedog (golok). Tradisi ini misalnya dilakukan para tukang panday Salam Nunggal di Kampung Leles, Kabupaten Garut. Mereka membuat bedog, peso (pisau) setiap tanggal 14 bulan Mulud. Tradisi ini dilandasi keyakinan, pakarang yang dibuat pada tanggal tersebut memiliki kualitas luar biasa. Kata orang, peso pongot bisa leuwih seukeut ti pedang (pisau atau golok yang dibuat pada malam tanggal14 bulan Mulud bisa lebih tajam daripada pedang).

Di samping keberkahan, bulan Mulud juga menyimpan sejumlah pantangan (tabu). Misalnya, pada bulan Mulud dilarang mengerjakan sesuatu yang dianggap besar seperti mendirikan rumah, menggali parit, dan memperdalam ilmu kadugalan yang menggunakan senjata tajam. Menurut kepercayaan orang tua waktu itu, jika ada yang melanggar pantangan, dia akan mengalami kecelakaan yang lebih parah dibandingkan dengan pada bulan biasa.

Perayaan Muludan sudah menjadi kalender tahunan dalam tradisi masyarakat Muslim nusantara. Di Kesultanan Cirebon terdapat tradisi Panjang Jimat. Sementara itu, di Kesultanan Yogyakarta diselenggarakan tradisi Sekaten. Di luar lingkaran komunitas kesultanan tadi, Muludan juga dirayakan komunitas pesantren dan madrasah. Di daerah Sukamandi, Kabupaten Garut, peringatan lahirnya Nabi Muhammad, diselenggarakan murid-murid sakola agama (madrasah diniah). Sekolah ini diselenggarakan secara swadaya oleh masyarakat desa dengan bimbingan kiai kampung. Hingga kini, sebagian komunitas ini masih setia melaksanakan tradisi tersebut.

Prosesi peringatan Muludan di sakola agama diisi berbagai acara. Di antaranya pembacaan riwayat Nabi oleh murid-murid madrasah diniah tersebut. Untuk persiapan acara tersebut,  murid mendapat bimbingan khusus dari para ustaz. Mereka dibekali teks yang berisi kisah-kisah nabi. Teks tersebut ditulis dengan huruf Arab pegon, yaitu basa Sunda yang ditulis menggunakan huruf Arab. Para murid harus menghafalnya di luar kepala. Pada saat Muludan tiba, mereka membacakannya di atas panggung yang disaksikan warga kampung.

Sore hari menjelang upacara Muludan tiba, murid madrasah diniah akan membersihkan diri dengan cara adus dan kuramas (mandi dan keramas). Mereka juga memotong kuku, mencukur rambut, dan ngaruru (menggosok) kaki menggunakan potongan genting. Adus dan kuramas merupakan bagian penting guna mempersiapkan Muludan. Esok harinya, saat pagi masih remang-remang, murid sakola agama yang berusia antara 6-15 tahun siap menuju madrasah. Pada hari itu, mereka mengenakan pakaian bagus yang sengaja dibeli untuk acara Muludan.

Peringatan Muludan berlangsung sejak pagi hingga tengah malam. Pagi hari, acara diisi dengan pembacaan kisah-kisah nabi oleh para murid. Menjelang siang, sebelum waktu Zuhur tiba, murid-murid berkumpul di depan rumah kiai untuk menerima ancak. Ancak adalah makanan berupa nasi putih lengkap dengan lauk-pauk dalam wadah berbentuk persegi empat, pipiti (besek) yang terbuat dari anyaman bambu. Seusai salat Zuhur, acara dilanjutkan sampai menjelang Magrib. Pada malam hari, acara diisi dengan pengumuman pemenang berbagai perlombaan yang diselenggarakan pada beberapa hari sebelum hari peringatan Muludan.

Menjelang tengah malam, penonton dihibur musik kasidahan. Di kampung setempat disebut tagoni. Pertunjukan musik ini mengandalkan alat musik sederhana yang terdiri dari alat tabuh, seperti perkusi. Alat musik ini berbentuk pipih bulat dengan diameter sekitar 40 cm. Personel grup tagoni berjumlah sekitar sepuluh orang plus seorang vokal. Usai hiburan tagoni, kiai setempat menyampaikan ceramah berisi kisah teladan Nabi Muhammad. Peringatan Muludan berakhir menjelang tengah malam.

Peringatan Muludan di sakola agama mulai jarang ditemukan. Banyak faktor yang menjadi penyebab hilangnya tradisi dan komunitas ini. Di antaranya, adanya kelompok agama yang menganggap tradisi Muludan sebagai perbuatan bidah (tidak ada contoh dari nabi).

Di sisi lain, hilangnya tradisi ini berkaitan dengan berkurangnya minat anak-anak menjadi murid sakola agama. Dari segi finansial, sakola agama juga cukup membebani penyelenggara. Pasalnya, masyarakat telanjur menganggap sekolah jenis ini sebagai sekolah ”ikhlas” alias gratis. Tidak heran jika banyak sakola agama yang tinggal kenangan bersamaan dengan menghilangnya tradisi Muludan pada komunitas ini.***

Penulis, peneliti dan dosen sosiologi UIN SGD Bandung.

Opini Pikiran Rakyat 27 Februari 2010