26 Januari 2010

» Home » Suara Merdeka » Bonek, Keruntuhan Keadaban Publik

Bonek, Keruntuhan Keadaban Publik

Yang kita saksikan sesungguhnya perang kecil antarsesama anak bangsa yang sejatinya memalukan. Keadaban kita sebagai makhluk berakal budi nampaknya mulai runtuh

RUANG batin publik kembali terusik. Kali ini bonek, suporter fanatik pendukung klub sepak bola Persebaya yang memantiknya. Dalam perjalanan menuju Bandung, para bonek menebar perilaku kriminal dari aksi lempar batu, perusakan fasilitas publik, hingga menjarah barang milik pedagang atau penumpang.


Mengikut adagium tak ada api tanpa asap, atas nama solidaritas dan amarah, warga yang merasa menjadi korban, kemudian melakukan aksi balasan dengan men-sweeping mereka. Bahkan, warga yang kesal nekat mengadang dan melempari rangkaian kereta yang mengangkut ribuan bonek. (Suara Merdeka, 25 Januari).

Di sepanjang jalur Yogyakarta, Klaten dan Solo, baik di stasiun maupun di perlintasan, meski dikawal satuan polisi, kereta luar biasa yang sengaja disiapkan oleh PT Kereta Api untuk mengangkut bonek dihujani lemparan batu. Masyarakat seakan tak menggubris polisi, termasuk Kapolda Ir Alex Bambang Riatmodjo dan beberapa kapolres yang secara demonstratif sengaja menjadi tameng di atas kereta.

Kerugian fisik akibat rusaknya rangkaian kereta dan fasilitas publik di stasiun jelas tidak sedikit. Demikian pula kerugian ekonomi para pedagang yang mengais rezeki di stasiun akibat dagangannya dijarah, rasa takut, dan teror yang menghinggapi warga dan penumpang umum, juga tidak dapat dinafikan.

Apa yang kita saksikan sesungguhnya adalah perang kecil antarsesama anak bangsa yang sejatinya sangat memalukan. Keadaban kita sebagai makhluk yang berakal budi nampaknya mulai runtuh. Bagaimana kita masih layak disebut beradab, apabila diri kita dikuasai fanatikme picik, nafsu menjarah, agresi, anarkisme, kekerasan, dan balas dendam.

Kehadiran suporter fanatik bagi sebuah kesebelasan memiliki arti yang sangat besar. Mereka adalah pemain ke-12 bagi sebuah kesebelasan dalam setiap laganya. Namun ia bisa saja menjadi petaka, ketika menjadi liar dan tak terkendalikan.

Identitas

Bonek awalnya adalah kumpulan suporter fanatik pendukung tim Persebaya, akronim dari bandha (dibaca: bondho) nekat (bermodalkan nekat). Seiring perjalanan waktu, mereka membangun apa yang disebut sebagai identitas sosial (social identity) kelompok.

Mereka mengembangkan identitas, peraturan (rule), tata nilai dan perilaku, atribut, serta kultur yang menggambarkan jati diri mereka sebagai kelompok suporter yang bermodalkan kenekatan. Setiap anggota kelompok selanjutnya akan menginternalisasi, mengidentifikasi dirinya, dan membawanya dalam segenap sikap dan perilakunya. Terutama ketika berada dalam komunitas mereka.

Menurut perspektif penulis, cetusan bondho nekat yang kemudian menjadi nama kelompok suporter ini memang membawa implikasi negatif yang cukup serius. Nama (naming) sesungguhnya memiliki arti yang sangat strategis bagi sebuah kelompok karena akan menjadi rujukan dan identifikasi awal bagi anggotanya.

Nekat menggambarkan sebuah situasi keberanian untuk mencapai sebuah tujuan yang cenderung dilakukan tanpa perhitungan yang matang sehingga kerap menghalalkan segala cara dan mengesampingkan kalkulasi etis normatif.

Identitas sosial inilah yang agaknya terinternalisasikan dengan baik dalam ruang batin oknum (untuk tidak mengatakan sebagian besar) bonek. Bonek itu harus fanatik mendukung Persebaya apapun caranya.

Meskipun penulis yakin, bonek sebagai sebuah organisasi tidak pernah mengajarkan hal ini, fakta di lapangan adalah aksioma tak terbantahkan dari kebrutalan anggota mereka.

Dinamika mereka akan menarik dikaji dalam sebuah situasi massa berupa kerumunan (crowd), ketika di sana juga dikibarkan panji dan atribut kelompok bernama bonek.

Meminjam Gustaf Le Bon (1841-1932), massa memang memiliki jiwa tersendiri yang disebutnya sebagai jiwa massa (collective mind) yang bersifat primitif, buas, liar, destruktif, impulsif, cepat tersinggung, sentimentil, sangat mudah disugesti, gampang tersulut provokasi, agresif, anarkis, dan seringkali berlaku di luar kendali aturan.

Jiwa massa ini bisa jadi sangat berbeda dari jiwa individu  (individual mind) yang asli/sejatinya. Artinya bahwa individu dengan segenap karakteristk kejiwaannya, ketika telah masuk menjadi bagian dari massa, bisa jadi akan luruh dan larut ke dalam jiwa massa tersebut.

Dalam ranah psikologi, proses ini sebagai deindividuasi, ketika individu tidak lagi mampu mempertahankan identitas kesejatian dan karakteristik pribadinya, digantikan oleh suatu identitas dengan tujuan kelompok. Tanggung jawab pribadi seakan hilang karena semua perilaku adalah bagian dari perilaku kelompok. Implikasinya, individu cenderung melarikan diri dari rasa tanggung jawab dan mengesampingkan konsekuensi tindakannya.

Kondisi ini akan diperparah dengan anonimitas yang makin mengaburkan identitas pribadi, sehingga perilaku antisosial yang dilakukan pun akan semakin tak terkendali karena responsibilitas yang mencapai titik nadir. Instrumen hukum kadang tidak berdaya menghadapi kekuatan massa yang jumlahnya seringkali jauh melebihi aparat penegaknya.

Sepakbola sesungguhnya adalah bagian dari peradaban yang menjunjung tinggi nilai-nilai sportivitas. Sepak bola adalah cabang olahraga yang paling populer yang tidak hanya mengajarkan kebugaran fisik, tetapi juga nilai-nilai kebersamaan, kolektivitas, semangat juang, kerja keras, serta menjunjung tinggi aturan-aturan main.

Sebagai pecinta bola Tanah Air, sungguh penulis merasa sangat prihatin dengan kejadian brutal ini, seraya berharap kasus ini tidak terulang kembali. PSSI sebagai wadah tertinggi persepakbolaan  jelas patut dimintai pertanggungjawaban. Prestasi timnas kita yang buruk, liga di Indonesia yang acakadut, mafia wasit, baku hantam antarpemain, kerusuhan dan anarkisme suporter adalah bukti betapa PSSI tidak pernah serius membenahi sepak bola Nusantara.

Bonek adalah sepenggal kisah buruknya wajah persepakbolaan dan kinerja PSSI yang menaunginya. Bukan kali ini saja bonek berulah menebar anarki. Kasus ini menjadi momen istimewa yang semestinya telak menampar PSSI, karena terjadi justru pada saat bonek masih mendapatkan sanksi Komdis PSSI untuk tidak mendampingi pertandingan tandang Persebaya.

Apa yang terjadi sebenarnya tidak sekadar mengabarkan pada kita bahwa Persebaya dan bonek melecehkan sanksi dari PSSI, namun juga fakta bahwa mereka tidak pernah serius berbenah diri. Persebaya tidak mampu mengorganisasikan suporternya yang telanjur mengidentifikasi dirinya sebagai bondho nekat yang fanatik dan bebas melakukan apa saja, termasuk aksi kriminal yang mengangkangi hukum.

Atas nama kepentingan bersama, persepakbolaan Tanah Air dan keadaban serta ketenteraman masyarakat, sanksi yang lebih tegas layak diberikan kepada Persebaya.

Apabila perlu, dieliminasi dari Liga Super untuk memberikan efek jera sekaligus pembelajaran bagi Persebaya dan bonek, serta seluruh pelaku persepakbolaan nasional agar lebih bijak dalam segenap langkah dan kebijakannya. Harapannya, klub dan suporter dapat besinergi secara cerdas dan beradab untuk membangun kekuatan persepakbolaan nasional.

Sungguh tidak bijaksana, apabila dukungan itu justru menjelma menjadi fanatisme picik yang menghalalkan kekerasan dan anarkisme, yang sangat jauh dari sportivitas. Apalagi, jika dukungan tersebut justru menjadi biang perpecahan dan permusuhan di antara sesama anak bangsa dan meruntuhkan keadaban kita. (10)

— Achmad M Akung, pecinta bola, dosen Fakultas Psikologi Undip, kini menyelesaikan pascasarjana psikologi di UGM
Wacana Suara Merdeka 27 Januari 2010