22 Desember 2009

» Home » Okezone » Luna-tainment

Luna-tainment

Luna Maya, artis cantik (setidaknya lebih cantik dibandingkan ketika nenek-nenek nanti), tinggi (setidaknya dibandingkan Ariel ”Peterpan”), yang selama ini menjadi menu utama infotainment (setidaknya kegiatan sebagai penyanyi, presenter, artis sinetron, gosipnya), minggu ini diberitakan lebih sering lagi (setidaknya dalam seminggu ini diberitakan sebanyak 37 kali, dengan durasi tayang setiap hari mencapai tujuh jam, belum media cetak dan online).

Artinya secara teori komunikasi, para penonton televisi dianggap mengetahui apa yang terjadi dengan dirinya. Mungkin juga membicarakan. Yang terjadi adalah perang (mungkin bisa disebut ”perang saudara”), dengan pekerja infotainment yang merasa dicemarkan namanya, karena dalam akun Twitter-nya Luna menyebut mereka sebagai (atau lebih hina dari) pelacur, pembunuh. Mereka ini mengadu ke Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jaya Jakarta, yang melalui badan hukum yang menempel di situ mengadu ke Polda Metro Jaya. Timbullah akibat yang meluas.

Organisasi wartawan yang lain, Aliansi Jurnalis Independen (AJI), menilai pekerja infotainment bukanlah wartawan, jadi tak perlu dibela oleh PWI, serta kurang afdal dengan penggunaan pasal-pasal pencemaran nama baik. Dewan Pers mengingatkan kembali akan pasal-pasal Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), yang menjadi ironis karena hanya akan merugikan kebebasan pers dan atau kebebasan berpendapat.

Begitu memasuki ranah hukum, senyum tak bisa dikulum. Harap maklum, silang pendapat dan pembelaan diri makin mewarnai, dan sempurnalah sudah tahap demi tahap reality show televisi, dengan berbagai benturan. Baik ketersinggungan, salah paham, dalam baju egoisme. Benarkah menjadi begitu? Benar, demikianlah adanya. Haruskah menjadi begini? Tidak, kalau ada sikap mawas diri.

Newstainment

Sejak awal saya agak risi dengan istilah infotainment, karena bisa berarti kependekan info dan entertainment, atau informan dan entertainment. Mungkin lebih pas istilah yang digunakan newstainment— karena news, berita, selalu memerlukan data, juga fakta, sebelum mengonfirmasikan. Tidak bisa begitu saja bertanya kepada artis yang matanya indah dengan pertanyaan: ”Anda katanya bisa di-booking? Bagaimana komentar Anda?” Kecuali si penanya memiliki data dan atau fakta bahwa sang artis memang mudah dibooking– istilah bisa dipesan untuk dikencani. Ini memang contoh yang agak kelewatan dan perlu diluruskan. Tapi menggeneralisasi semua wartawan infotainment berperilaku seperti itu, tentu keliru dan tidak bijak. Sebagaimana profesi yang lain, selalu ada yang reseh, menjengkelkan, dan tak jelas apa maunya. Ini harus dimaklumi bahwa industri infotainment belum lama hadir, belum memiliki tradisi yang baik dan benar. (Setidaknya dibandingkan dengan industri media cetak, atau industri televisi).

Dengan demikian, jalan keluarnya bukan membandingkan dengan pelacur (pelacur juga ada yang bersyukur), atau mengemohi kehadirannya, melainkan mengajak duduk bersama dan membicarakan tata krama yang sebaiknya. Ini bukan tugas Luna, melainkan industri yang melahirkan dan mempekerjakan mereka atau organisasi yang terbaik. Tidak terlalu sulit mempelajari dasar-dasar jurnalistik gaya begini, sekurangnya mendalami dan meyakini mana yang ”do” (boleh) dan mana yang ”don’t” ( tidak boleh). Juga tak terlalu susah untuk mempraktikkan di lapangan.

Bukan karena apa, melainkan karena hubungan artis dengan wartawan infotainment sudah seperti saudara—dibentuk oleh sejarah, karena kebutuhan yang sama tergantung satu dengan yang lain. Bahwa bisa mudah tergesek menjadi love (cinta) dan hate (benci), ya memang begitulah hubungan yang terjalin erat dan dekat. Sebagai permusuhan kedua pihak, seperti halnya permusuhan persaudaraan, bisa menguak yang selama ini menjadi rahasia berdua. Luna Maya tidak sendirian karena Desy Ratnasari pernah mengalami, seperti halnya pada zamannya artis sekaliber Emilia Contessa (bahkan diboikot atau disuruh mengundurkan diri alias nonaktif), atau juga Yenny Rachman.

Kadang dalam nyinyir sebagai orang yang sudah uzur, saya ingin memberi nasihat bagi para artis. Contohlah bagaimana artis Titiek Puspa (dari skandal menteri, rumah terbakar, suaminya, lagunya) mengatasi gelombang pasang yang menghantam kariernya. Atau juga Rima Melati (soal rumah tangga, kanker payudara, kecerewetannya antirokok, usahanya, anak dan menantu), yang mengatasi semua ini tetap dengan senyum, segar, dengan wartawan-wartawan yang ”begundil” itu. Baik ”tante” Titiek maupun ”tante” Rima adalah sosok yang tegak, tegar, dengan banyak persoalan yang serentak sekaligus—bukan satu soal kawin cerai atau murka.

Good News Sajalah

Yang tidak menarik dari kasus Luna-tainment adalah dengan serta-merta membelah ke persoalan siapa membela dengan siapa mencela, siapa wartawan siapa bukan, organisasi kewartawanan yang tak tahu peran atau yang kebablasan, dan segala kejengkelan yang tidak memberi jalan keluar.

Padahal menurut saya bisa lebih sederhana. Kalau Luna Maya merasa wartawan kelewatan, tinggal mengatakan kelewatan sejauh mana, sebagaimana juga dia meminta maaf karena tulisannya (yang bisa disangkal bukan dia yang menuliskan atau sedang puyeng karena mulai masa haid). Sementara dari pihak wartawan yang tergabung atau sendirian (Dewan Pers membolehkan wartawan tak punya induk organisasi, peraturan yang ada lain lagi) perlu mawas diri, untuk bersama belajar dalam lokakarya tentang hal-hal yang elementer yang terlupakan, karena buru-buru ditugaskan di lapangan.

Dengan demikian masing-masing bisa menjelaskan dan dijelaskan persoalan yang sebenarnya dan bisa saling mengetahui apa kurangnya. Hal yang sama bagi PWI Jaya, misalnya, bahwa ada tugas melindungi dan meneruskan keluhan yang bernaung di dalamnya (meskipun tidak selalu berarti membawa masalah ke kepolisian). Atau juga dari AJI, bahwa kehadirannya bukan menjadi pembela Luna dan berseberangan dengan PWI, melainkan bertitik berat pada pasal ”pencemaran nama baik”, yang ternyata digunakan untuk maksud tidak baik dan tidak proporsional.

Kejelasan sikap masing-masing pihak akan membuat enak, juga tak usah berlama-lama. Apalah susahnya duduk bersama (atau berdiri juga nggak apa-apa), menjabat tangan (berangkulan pun mulai nyaman), saling memaafkan, dan menyudahi untuk kali ini. Menurut saya ini jauh lebih baik, lebih good news, lebih irit waktu dan duit dibanding beperkara, atau menipu diri (bahwa dirinya lebih benar dan pasti menang). Ada jalan keluar yang lebih indah, lebih sejuk, dan tak merugikan siapasiapa. Malah dijamin mendewasakan.

Kalau ini yang terjadi, kasus Luna-tainment bisa menjadi contoh, bahwa ternyata perdamaian itu juga bagian dari jalan keluar, bahwa berita bagus juga merupakan berita yang hangat (bukan hangus), bahwa kedua pihak masih akan saling membutuhkan. Lebih dari ini semua, masih banyak masalah dunia hiburan yang memerlukan kebersamaan, kekompakan, untuk masuk ke jagat industri yang sesungguhnya. Apa seeeeh susahnya mengalah pada diri sendiri? Peace, man… Damai di hati.(*)

Arswendo Atmowiloto
Budayawan 

Opini Okezone 22 Desember 2009