12 Desember 2009

» Home » Jawa Pos » Lakon Para Pembobol Bank

Lakon Para Pembobol Bank

Make money, money by fair means if you can, if not, but any means money.

Horatius

ORANG boleh bertanya-tanya apa maksud Quintus Horatius Flaccus (65 SM-8 SM), penyair kesohor Kekaisaran Romawi, itu menyatakan hal tersebut. Tetapi dengan sedikit renungan saja, kita tahu, kata-kata itu adalah sebuah satire. Carilah uang, uang halal kalau kamu bisa, kalau tidak, uang apa sajalah. Horatius memang seorang satiris jempolan.

Namun, bagi para kriminal di dunia bisnis dan perbankan, kata-kata Horatius itu mungkin tidak punya makna apa-apa. Apalagi mereka yang pintar melihat celah-celah dunia perbankan untuk menipu dan menggelapkan uang besar dengan cara mudah dan cepat.

Jadi, tidak mengherankan bila muncul kasus Bank Century. Sudah berkali-kali dunia perbankan kebobolan oleh permainan para pengusaha dan bankir hitam. Tetapi, hal itu terus terulang dan terulang.

Sekitar 15 tahun yang lalu, Eddy Tansil menipu Bapindo hingga dia dapat memperoleh kredit senilai 430 juta dolar AS. Ditambah dengan bunganya saat itu, nilainya membengkak menjadi Rp 1,3 triliun. Eddy Tansil sempat ditahan Kejaksaan Agung. Tetapi bim salabim, dia tiba-tiba kabur ke Tiongkok pada 1996.

Beberapa waktu lalu dilaporkan aset Eddy Tansil dari perusahaannya, Golden Key Group, telah dilelang oleh Departemen Keuangan. Namun total nilai aset itu hanya mencapai Rp 126, 125 miliar, yang berarti hanya sekitar 10 persen dari kerugian negara.

Selain Eddy Tansil, ada Hendra Rahardja, pemilik Bank Harapan Sentosa. Bankir itu membobol Rp 3,8 triliun dana bantuan likuiditas Bank Indonesia pada 1997, lalu lari ke Australia. Aparat Indonesia tidak mampu menyeret Hendra ke pengadilan sampai meninggalnya bankir tersebut pada 20 Januari 2003. Berita barunya, pemerintah Indonesia telah menerima aset milik Hendra dari pemerintah Australia sebesar 493.647.07 dolar AS yang diduga sebagai hasil tindak pidana. Aset itu terpisah dari aset sebesar 637 ribu dolar AS milik Hendra yang dikembalikan ke Indonesia pada 2004.

Dalam skala internasional, ada kisah tentang BCCI, Bank of Credit and Commerce International. Bank ini didirikan pada 1972 oleh bankir Pakistan Agha Khan Abedi dan dimodali awal oleh Sheik Zayed dari Abu Dhabi. Pendiriannya dilakukan di Luksemburg, tetapi operasinya di London. Hanya dalam waktu sekitar 20 tahun, BBCI beroperasi di 73 negara dengan jumlah penabung hampir satu juta orang dan rekening senilai lebih dari 10 miliar dolar AS. Ternyata, kemudian terbukti bank tersebut digunakan para bos narkoba, pedagang senjata gelap, para diktator, dan juga operasi-operasi gelap CIA. Ketika akhirnya ditutup pada Juli 1992, dana nasabah yang lenyap atau dicuri berkisar antara 9,5 miliar hingga 15 miliar dolar AS.

Anda masih ingat kisah Nicholas (Nick) Leeson? Pialang derivatif Bank Barings (Inggris) yang cerdik itu bergaji 50.000 pound sterling, belum termasuk bonus. Tetapi, langkah-langkah spekulatifnya yang tanpa sepengetahuan atasan di Bursa SIMEX Singapura pada 1992 meleset dari perhitungannya. Pada 1992 kerugiannya baru dua juta pound, tapi pada akhir 1994 melambung jadi 208 juta pound. Tahun berikutnya kerugian mencapai 827 juta pound (1,4 miliar dolar AS).

Bank Barrings, bank investasi tertua di dunia, itu akhirnya bangkrut. Sempat lari, Leeson akhirnya dapat diekstradisi ke Singapura. Dia diadili dan dihukum 6,5 tahun penjara hingga dibebaskan pada 1999. Kisah Toshihide Iguchi juga menarik. Bekas pedagang surat berharga Daiwa Bank itu selama 11 tahun mulai 1984 melakukan 30.000 aksi perdagangan tanpa sepengetahuan atasannya. Pada 1983, kerugiannya hanya 70.000 dolar AS. Bertahun-tahun kerugian terus terjadi, tapi ditutupinya. Begitu terungkap pada 1995, kerugian Daiwa Bank telah menumpuk hingga 1,1 miliar dolar AS. Karena takut, dia akhirnya melaporkan kepada pihak berwenang AS. Dia ditangkap, diadili pada 1997, dan menjalani hukuman 4 tahun penjara.

Tapi dari berbagai kejahatan di balik bisnis uang, kisah Bernard Madoff, 71, mungkin paling dramatis. Mantan chairman Bursa Saham NASDAQ ini selama bertahun-tahun menipu ribuan orang, termasuk sesama tokoh Yahudi dan yayasan-yayasan Yahudi, untuk berinvestasi di perusahaan, Bernard L. Madoff Investment Securities LLC. Semua orang tidak tahu bahwa bisnisnya adalah bisnis piramid (Ponzi Scheme).

Pada Desember 2008, skandalnya terungkap, antara lain, berkat laporan dua anaknya yang akhirnya sadar. Pada 30 Juni 2009, Hakim Distrik New York Denny Chin menghukum Madoff 150 tahun penjara. Lebih dari 13 miliar dolar AS milik klien Madoff hilang tak berbekas. Media Amerika menjuluki monster keuangan itu sebagai ''Simbol Kerakusan Wall Street."

Apa yang membedakan skandal-skandal di negeri ini dan luar negeri? Satu yang utama, skandal-skandal di luar negeri berakhir jelas. Para kriminal diadili dan mendapat ganjaran setimpal, hukum ditegakkan. Kita tentu punya impian, negeri ini juga akan memiliki peradaban yang setara dengan bangsa-bangsa beradab lainnya. Negeri yang menjunjung tinggi rules of law.

Di negeri impian seperti itu, uang halal dan uang haram jelas perhitungannya di mata hukum. Legal dan ilegal memang beda. Warga masyarakat pun lebih sadar apa makna adagium ''Crime does not pay." (*)

*) Djoko Pitono , jurnalis dan editor buku
Opini Jawa Pos 12 Desember 2009