10 November 2009

» Home » Suara Merdeka » Peradilan dan Partisipasi Publik

Peradilan dan Partisipasi Publik

MENARIK disimak dalam hearing Komisi III DPR dan Kapolri, Kamis (5/11), ada sejumlah tanggapan terhadap penanganan kasus Pimpinan KPK nonaktif Bibit S Rianto dan Chandra M Hamzah.

Beberapa wakil rakyat mempertanyakan kenapa penahanan terhadap keduanya yang mestinya ”normal” jika merujuk kepada KUHAP berubah menjadi kenyataan yang menimbulkan gejolak publik? Bagaimana juga setelah rekaman pembicaraan Anggodo dengan sejumlah pihak diputar di Mahkamah Konstitusi lalu menjadi diskursus yang luas akhirnya polisi menangguhkan penahanan terhadap kedua tersangka itu?


Jauh sebelumnya kita menyaksikan juga penanganan terhadap Pimpinan KPK, yang sekali lagi, atas nama persamaan perlakuan di muka hukum sesungguhnya menjadi sesuatu yang lumrah, oleh polisi menimbulkan kritik dan reaksi negatif dari masyarakat: dari sangkaan pelemahan KPK, kriminalisasi pejabat, sampai tudingan ada dusta dalam proses itu karena tuduhan yang berubah-ubah.

Ada gerakan ”sejuta facebook”, demonstrasi di berbagai daerah, dan puncaknya adalah reaksi Presiden SBY yang kemudian membentuk Tim Pencari Fakta yang dipimpin oleh Adnan Buyung Nasution (sebagai representasi dari masyarakat), karena kuat dugaan ada titik-titik gelap di seputar fakta dan penanganan kasus tersebut.

Saya sendiri, terlepas dari penilaian substansi perkara yang diperdebatkan, melihat fenomena itu pada perspektif lain: aliran partisipasi publik dalam proses penegakan hukum. Barangkali bacaan ini masih terdengar asing, seperti juga terlihat dari kenyataan adanya penghindaran penegak hukum bahwa mereka melakukan atau tidak melakukan sesuatu, mengundurkan diri atau tidak mengundurkan diri, terkait dengan reaksi publik terhadap sebuah kasus. Tetapi sebenarnya, dalam literatur fenomena itu tidaklah menjadi sesuatu yang asing karena telah mempunyai sejarah yang panjang dan berkembang terus-menerus baik konsep maupun keberadaannya.

Jangkau Luas

Dalam pengalaman kita sejauh ini, partisipasi publik dalam masalah kenegaraan sering hanya dikaitkan dengan aspek politik belaka, yaitu tentang bagaimana manajemen kekuasaan eksektuif dan perwakilan di legislatif. Padahal masalah kenegaraan, yang menjadi hak publik atau setiap warganegara, sesungguhnya meliputi juga bidang peradilan dalam arti luas.

Keterlibatan publik ini sering dipandang sebagai wahanan dan sarana masyarakat sebagai warga negara untuk membantu menemukan dan menentukan keadilan dengan memperhatikan ”hukum yang hidup dan berkembang” di tengah-tengah masyarakat dalam pemeriksaan untuk perkara pidana.

Dalam kaitan ini relevan apa yang dikatakan oleh Prof Satjipto Rahardjo dalam artikel di harian Kompas, bahwa publik, walaupun belum tentu memunyai standar akademik dalam memahami konsep-konsep hukum, tetapi sebetulnya mereka mempunyai kecerdasan atas dasar nurani dan akal sehat untuk melihat fenomena hukum yang ada.

Pengakuan partisipasi publik dalam proses peradilan berarti penerimaan nilai demokrasi dalam sistem hukum, dan dengan cara yang demikian hasilnya akan mendekati rasa keadilan dalam masyarakat. Demikian juga, unsur ini akan meminimalisasi vested interest dan campur tangan kekuasaan dalam proses hukum, sehingga kendali keadilan dikembalikan kepada pemilik sesungguhnya yaitu publik.

Pelembagaan

Konsep partisipasi publik dalam penanganan perkara hukum sudah semakin diterima. Kita umumnya mengenal pelembagaannya dalam adanya juri dan hakim ad hoc. Secara historis, juri dibawa oleh orang Romawi ke Inggris dan dari Inggris kemudian ke Amerika, tetapi dewasa ini paling banyak digunakan di pengadilan Amerika. Juri adalah sejumlah orang yang secara khusus dipilih dari anggota masyarakat secara random berdasarkan syarat dan ketentuan hukum yang berlaku. Anggota masyarakat itu biasanya bukan profesional hukum, tetapi masyarakat biasa.

Khususnya dalam sidang kriminal, wewenang juri adalah untuk menentukan kesalahan dari fakta-fakta yang diajukan dan atau didengarkannya selama sidang. Dalam menentukan kesalahan, juri cukup dengan mendengarkan, tidak boleh mencatat, dan berdiskusi dengan siapa pun, kecuali hati nuraninya. Jadi, ada kerja sama yang saling melengkapi antara profesional hukum (pengadilan), dengan anggota masyarakat.

Merujuk tulisan Luhut Pangaribuan (2009), keberadaan hakim ad hoc berangkat dari diterimanya konsep lay judges, suatu partisipasi yang dilakukan dalam bentuk kerja sama antara hakim karier dan nonprofesional (awam) dalam sidang pengadilan.

Dewasa ini, kita melihat bahwa pengadilan khusus seperti pengadilan HAM, pengadilan tipikor, dan pengadilan perikanan semuanya dalam lingkungan peradilan umum memperkenalkan hakim yang tidak berdasarkan karier di pengadilan sebagai hakim ad hoc. Sebelumnya juga sudah dikenal dalam Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), dan sekarang diperluas ke pangadilan niaga, pengadilan pajak, dan pengadilan hubungan industrial.

Dalam mengadili, hakim karier dan hakim ad hoc ini sama-sama dalam satu majelis untuk mengadili satu perkara di pengadilan khusus masing-masing. Ini adalah buah reformasi, yang mengapresiasi ledakan partisipasi publik, termasuk dalam sektor pengadilan, walaupun KUHAP sama sekali tidak pernah mengatur mengenai hal ini.

Kenyataan

Jadi, secara formal maupun informal, kehadiran partisipasi publik dalam sebuah proses hukum merupakan suatu kenyataan. Jika kenyataan ini diakui, maka akan membawa angin perubahan dalam proses penegakan hukum, sekurang-kurangnya dalam hal bagaimana kita memaklumi bahwa hukum dan birokrasinya tidaklah bekerja dalam ruang asing tertutup dan hukum bukanlah semata-mata legalitas hitam dan putih, tetapi suatu organisasi sosial yang ”ramai” dengan aneka kepentingan dan makna.

Partisipasi itu akan membawa perubahan menyangkut cara pandang masyarakat terhadap proses hukum, bagaimana menafsirkan kepentingan masyarakat, dan perubahan bagaimana birokrasi hukum menjalankan tugasnya untuk memenuhi kepentingan publik.

Saya kira, berangkat dari kasus tersebut, pekerjaan besar menanti utnuk memutuskan apakah partisipasi publik akan dilembagakan dalam proses peradilan, dengan konsekuensi kemungkinan melakukan perubahan besar terhadap sistem hukum yang berlaku, ataukah akan dibiarkan menjadi wahana ”reaktif” dalam kinerja hukum di republik ini. (35)

—Isharyanto, dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Opini Suara Merdeka-Selasa, 10 Nopember 2009