Mandat baru, kabinet baru, target pun mestinya baru. Target atau prioritas program baru itulah yang kini ingin didengar rakyat, ketika bakal presiden terpilih Soesilo Bambang Yudhoyono(SBY) mulai dan sedang membuat catatan awal tentang arsitektur dan formasi kabinet mereka untuk periode 2009ñ2014.
Dengan begitu, wajar juga jika sejumlah kalangan mulai angkat bicara tentang bagaimana hitam-putihnya kabinet baru SBY-Boediono.
Ada beberapa versi yang berkembang dalam isu kabinet. Tetapi dua versi paling menonjol, meliputi kabinet berorientasi kerja dan kabinet yang beranggotakan para profesional. Hampir semua kalangan keberatan jika SBY hanya berorientasi pada bagi-bagi jabatan kabinet untuk partai politik anggota koalisi Partai Demokrat yang memenangkan pemilihan presiden tempo hari.
Semakin mendekati waktu pelantikan presiden pada 20 Oktober 2009 nanti, semakin kuat arus saran kepada SBY agar memilih para profesional untuk menjabat pos menteri. Tidak ada yang salah dengan masukan seperti ini. Pasti diasumsikan bahwa para profesional hanya bekerja sesuai program, dan tidak mencampuradukkan kepentingan pribadi atau kelompok politik dengan kepentingan negara dan rakyat.
Kecenderungannya adalah terlanjur memberi kepercayaan berlebih kepada para profesional. Hakikat profesionalisme adalah tahu apa yang benar dan apa yang salah. Maka, para profesional hanya mau menggagas dan menyelesaikan pekerjaan atau program yang menurut mereka benar. Mereka akan salah tingkah dan berulah macam-macam kalau diperintahkan mengerjakan sesuatu yang menurut mereka salah atau tidak sejalan dengan asas profesionalisme.
Karena hakikat profesionalisme seperti itu, banyak orang berasumsi para menteri dari kalangan profesional akan berperilaku layaknya para CEO di perusahaan-perusahaan besar, di perusahaan terbuka yang orientasinya cari untung terus.
Langkah atau kebijakan yang berpotensi menimbulkan rugi pasti dihindari atau diharamkan. Artinya, mereka akan mengelola departemen layaknya sebuah perusahaan yang kinerjanya harus positif. Departemen yang tak boleh menyandang status cost center, melainkan harus profit center.
Ketika harga kebutuhan pokok naik tak terkendali, mereka menolak langkah intervensi pasar karena menurut mereka langkah itu tidak profesional, berlawanan dengan prinsip mekanisme pasar bebas.
Penghapusan
Kalau seperti itu maunya, Departemen Sosial atau Departemen Pendidikan yang cost center mestinya tidak ada lagi. Begitu juga kantor kementerian atau satuan tugas lain yang berada dalam lingkup Menteri koordinator kesejahteraan rakyat karena rata-rata menyandang status cost center.
Lebih ekstrem lagi, program seperti bantuan langsung tunai (BLT), program nasional pemberdayaan masyarakat mandiri (PNPM) hingga Raskin (beras untuk warga miskin), bisa digugurkan karena para menteri yang profesional itu menilai program-program seperti itu hanya buang-buang biaya, yang tentu saja bertentangan dengan asas profesionalisme dalam pemanfaatan sumber daya.
Dalam konteks profesionalisme, keputusan subsidi bahan bakar minyak (BBM) atau Bea Masuk (BM) ditanggung pemerintah, serta kebutuhan kredit murah sejenis KUR (Kredit usaha rakyat), bukan tipikal keputusan dari seorang profesional. Seorang profesional hanya mengambil untung, dan menjauh dari potensi rugi.
Karena itu, pemilihan figur menteri yang hanya berorientasi pada kualifikasi professional saja tidak cukup. Bagaimana pun, arsitektur dan formasi kabinet lima tahun mendatang harus mengacu pada persoalan terkini yang sedang dan masih menyelimuti rakyat dan negara. Itulah fokus acuannya kalau kabinet baru sungguh-sungguh ingin mencari solusi dan mereduksi aneka persoalan kita dewasa ini.
SBY-Boediono harus mengidentifikasi lagi persoalan terkini kita; merumuskan dasar- dasar strategi untuk merespons persoalan-persoalan terkini itu; kemudian merancang arsitektur kabinet yang diasumsikan mampu menanggung semua persoalan terkini itu; dan menyusun formasi serta memilih figur menteri yang diyakini bisa menyelesaikan atau mereduksi persoalan yang berkembang di setiap areal tugas mereka (para menteri).
Dengan begitu, kualifikasi menteri profesional harus dihadapkan dulu dengan persoalan atau beban tugas di areal kerja atau departemennya. Setiap figur calon menteri yang difavoritkan SBY hendaknya diwajibkan dulu memotret dan merinci persoalan yang berkembang di areal kerjanya. Jangan sampai Menteri Sosial tak tahu jumlah warga miskin.
Calon Mendiknas misalnya harus tahu jumlah anak yang terancam putus sekolah sekaligus bisa mencari jalan keluarnya. Intinya setiap calon menteri tahu masalah, dan menawarkan kepada presiden program kerjanya yang diyakini bisa menyelesaikan atau mereduksi persoalan di areal kerja masing-masing.
Dalam menilai calon menteri, SBY hendaknya sampai pada pertanyaannya apakah figur itu cukup profesional untuk menyelesaikan atau mengurangi persoalan-persoalan yang ada di departemen atau areal kerjanya? Dan, sekadar menyegarkan ingatan, persoalan terkini Indonesia tidak semata-mata untung-rugi dalam konteks ekonomi-bisnis.
Persoalan kita masih multidimensional. Banyak persoalan yang penyelesaiannya menuntut kearifan politik pemerintah, menuntut penggunaan dana negara dalam jumlah yang tidak kecil.
Persoalan kita yang berifat mendasar dan strategis sudah sangat jelas bagi kita semua. Paling serius adalah isu tentang warga miskin yang cenderung bertambah saat ini, ketika biaya hidup harian mengalami peningkatan cukup signifikan. Masalah pengangguran yang terus meluas tak boleh dianggap remeh.
Kinerja perekonomian kita terus memburuk. Pertumbuhan ekspor-empor masih minus. Kegagalan menurunkan suku bunga bank menyebabkan sektor riil serta sektor usaha menengah, kecil dan mikro (UMKM) sama sekali tidak produktif.
Paling mengerikan adalah ketergantungan kita akan bahan pangan impor. Potensi sektor pertanian dan perkebunan kita sangat besar, tetapi kita sama sekali tidak becus mengelola potensi itu. Kita pun seperti tak berdaya menghadapi impor ilegal (penyelundupan) aneka produk yang menyebabkan pasar dalam negeri disesaki produk asing.
Kalau menteri bekerja hanya berdasar asas profesionalisme, sebagian besar rakyat, terutama mereka yang miskin, tak akan terurus atau terlayani kepentingannya, terutama pada sisi kebutuhan ekonomis mereka. Asas profesionalisme dalam mengelola kepentingan rakyat tak selamanya sejalan atau relevan dengan kewajiban kita memelihara dan meningkatkan stabilitas keamanan dan ketertiban nasional.
Kita setuju dengan Menteri dari kalangan profesional, tapi jangan juga lupa bahwa menteri itu jabatan politis. (80)
Wacana Suara Merdeka 2 September 2009
—Bambang Soesatyo, anggota DPR-RI Terpilih 2009-2014 Daerah Pemilihan Jawa Tengah VII dari Partai Golkar